Mantan Menteri BUMN Sebut SKL BLBI Kebijakan Politis

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi diperiksa KPK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Kebijakan Master of Settlement Agreement Acquisition (MSAA), sebagai salah satu syarat agar obligor mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), merupakan keputusan yang politis. MSAA diterbitkan di tengah kondisi Indonesia yang saat itu masih belum stabil dari gejolak politik dan ekonomi sekitar 20 tahun silam.

KPK: Kasus BLBI Sjamsul Nursalim Belum Kedaluwarsa

Demikian menurut mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi, usai diperiksa tim Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu 26 Juli 2017. Sukardi diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi atas penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim selaku pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan tersangka, yakni mantan Kepala BPPN, Sjafruddin Arsjad Temenggung.

Kepada awak media, Sukardi mengungkapkan asal muasal munculnya MSAA. "Pada waktu itu kita mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan juga masih kacau. Jadi, secara politik diputuskan out of court settlement. Makanya dibuatlah MSAA," kata Sukardi.

Saat itu, lanjut dia, Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan agar para obligor segera mengembalikan BLBI yang mereka terima. Di mana, salah satu upayanya dengan kebijakan MSAA.

Jaksa Panggil Mantan Wapres Boediono Jadi Saksi Sidang Kasus BLBI

Selain itu, demi upaya pemerintah menarik uang-uang BLBI, seyogyanya diterbitkan lah sebuah SKL. Itu untuk menjamin kepastian hukum bagi para obligor yang sudah mengembalikan.

"Sampai akhirnya zaman ibu Megawati dibuat percepatan penjualan aset dan ekonomi menjadi recover (pulih). IMF juga, utang dibayar kembali. Dan bagi obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan kepastian hukum. Itu merupakan mandat dari MPR," terang Sukardi.

Sejatinya, sambung dia, pemerintah ketika itu bisa saja menyeret para obligor penerima BLBI yang 'bandel' ke pengadilan. Namun, pilihan tersebut tidak pemerintah ambil karena pertimbangan hukum dan waktu.

Terdakwa BLBI Undang Istri Sjamsul Nursalim Rapat SKL

"Zaman dulu bisa dibayangkan, opsinya itu memenjarakan semua bankir. BLBI Rp400 triliun, tapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp144 triliun yang pada bank swasta. Anda bisa bayangkan kalau semua dilakukan proses peradilan, kita bisa kalah dan waktunya 10 tahun enggak jelas," ujar Sukardi.

Wewenang BPPN

MSAA, atau akusisi aset milik obligor penerima BLBI oleh negara, merupakan salah satu cara bagi para obligor mengembalikan BLBI yang mereka terima. Jika MSAA sudah dilakukan para obligor berhak mendapatkan SKL.

Sementara penerbitan SKL merupakan kewenangan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 
Namun sebelum menerbitkan SKL, Kepala BPPN harus mengantongi rekomendasi dari Komite Kebijakan? Sektor Keuangan (KKSK). KKSK ini terdiri dari beberapa kepala lembaga, di antaranya yakni, Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, dan Menteri BUMN.

Sjamsul dipandang telah menjalankan kebijakan MSAA sehingga utang BLBI-nya yang tersisa R 4,8 dari Rp28 triliun, dianggap lunas. Namun KPK tak sejalan, sebab Rp4,8 triliun ternyata belum seluruhnya dibayarkan Sjamsul. Sedangkan SKL sudah diterbitkan. Perhitungan KPK, dari sisa Rp4,8 trilun, yang baru dibayarkan baru Rp1,1 trilun, atau sisa Rp3,7 triliun lagi.

Perhitungan tersebut kemudian dijadikan dasar oleh KPK untuk menetapkan Sjafruddin sebagai tersangka. Kepala BPPN di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN untuk memberikan SKL ke Sjamsul. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya