Perajin Peci di Bantul Merana Gara-gara Perang ISIS

perajin peci di Dusun Bedukan, Pleret, Bantul, Yogyakarta
Sumber :
  • Daru Waskita

VIVA.co.id – Bulan suci Ramadan selalu dinanti para perajin peci di Dusun Bedukan, Pleret, Bantul, Yogyakarta, yang berharap penjualannya akan meningkat.

Menata Hati Sambut Bulan Suci

Tapi harapan itu ternyata tidak dapat diwujudkan setelah pecah perang di kawasan Timur Tengah yang melibatkan ISIS. Kejadian ini berdampak serius bagi penjualan peci Pleret di kawasan Timur Tengah.

Turadi (55), salah satu perajin peci di Desa Pleret mengatakan, usaha yang dirintisnya sejak 1994 selalu mengalami permintaan yang cukup tinggi hingga tahun 2002. Khususnya dari Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah.

Mudik Lebaran 2017, Sebanyak 5,8 Juta Orang Naik Kereta Api

"Permintaan dari negara Saudi Arabia dan negara di kawasan Timur Tengah cukup tinggi hingga saat ini mampu memperkerjakan 11 karyawan," katanya kepada VIVA.co.id, Selasa 30 Mei 2017.

Namun setelah terjadi pertempuran perebuatan wilayah dengan ISIS pecah, permintaan peci di kawasan Timur Tengah turun drastis. "Bagaimana mau kirim barang, wong baru perang. Rakyatnya juga banyak mengungsi," katanya.

Libur Lebaran, Peredaran Uang di Jawa Barat Capai Triliunan

Tak punya pasar di kawasan Timur Tengah, Turadi saat ini hanya berharap dari pasar di Arab Saudi. Karena itu, suami Syarti Rahayu ini mulai membidik pasar di kawasan ASEAN yang negaranya banyak Muslim, termasuk pasar dalam negeri yang sejauh ini permintaannya masih tetap stabil.

"Ya untuk tetap berproduksi maka sasaran pasar adalah negara di ASEAN yang punya penduduk Muslim cukup banyak," ujarnya.

Guna melayani permintaan pasar dari negara Asean dan domestik. Dalam satu bulan Turadi harus memproduksi sekitar 2.000 peci dengan menyesuaikan peci selera pasar dengan berbagai tingkat harga mulai dari Rp20 ribu hingga Rp75 ribu .

"Peci model Taliban sudah tidak kita produksi karena tidak laku lagi di pasar ASEAN dan domestik," ujarnya.

Dengan pesanan satu bulan mencapai 2.000 peci, Turadi mengaku hanya dibantu sekitar dua hingga tiga tenaga kerja saja. Jauh berkurang dari tahun 1994 yang bisa mencapai belasan tenaga kerja untuk memproduksi puluhan ribu peci dan sebanyak 15.000 peci biasanya di ekspor ke Timur Tengah.

"Meski permintaan tak seramai dulu, namun penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak serta membayar gaji tenaga kerja sesui dengan UMK," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya