Kisah Hidup Pemanjat Ratusan Pohon Kelapa di Bulan Puasa

Mastari sedang mengisi buah kelapa ke dalam mobil pengepul.
Sumber :

VIVA.co.id – Matahari bersinar cukup terik di siang hari pertama Bulan Ramadan, Sabtu, 27 Mei 2017. Tapi pria bernama Mastari, tetap bersemangat memanjati satu persatu pohon kelapa di sebuah kebun yang luasnya mencapai satu hektare di Desa Terang Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Menata Hati Sambut Bulan Suci

Keringat mengucur deras membasahi kulit legam pria berusia 37 tahun itu. Namun, tak sedikit pun terlihat dia merasa lelah dan kehausan meski sedang berpuasa.

Menjelang sore, dengan bermodal handuk kusam dan sebilah golok, seribuan butir kelapa berhasil dipetik dari ratusan pohon kelapa yang dipanjatinya sejak pagi.

Mudik Lebaran 2017, Sebanyak 5,8 Juta Orang Naik Kereta Api

Tugas Mastari belum usai, untuk bisa mendapatkan uang guna membeli kebutuhan pokok keluarganya, Mastari masih harus membawa ratusan butir kelapa muda itu ke tepi jalan, untuk dijajakan ke pengepul kelapa muda yang melintas di ruas jalan itu.

Mastari menuturkan, pekerjaan ini sudah dijalaninya sejak 20 tahun lalu. Dia rela mempertaruhkan nyawanya di ketinggian pohon kelapa demi menghidupi istri dan dua anaknya. Rasa haus dan lapar selama berpuasa bukan hal yang memberatkan baginya.

Libur Lebaran, Peredaran Uang di Jawa Barat Capai Triliunan

Menurut Mastari, setiap butir kelapa dijualnya kepada pengepul dengan harga Rp4.500. Dari setiap butir kelapa, Mastari mendapat keuntungan Rp1.500. Sebab, kelapa yang dipetiknya itu juga didapatkan dari hasil membeli dari pemilik kebun dengan harga perbutirnya Rp.3000.

"Kalau hari biasa, hanya 500 buah perhari. Tapi bulan puasa, bisa sampai 1.500 buah," kata Mastari mengawali perbincangan kepada VIVA.co.id.

Keuntungan yang didapatkan Mastari di bulan puasa pun cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Di awal puasa tahun ini saja, dalam satu hari dia mendapatkan keuntungan Rp 450 ribu.

Tapi keuntungan itu tidak dikantonginya seorang diri, sebab uang itu harus dibagi dua dengan temannya yang juga membantunya memanjati pohon kelapa. "Dibagi dua sama teman, jadi Rp225ribu. Hari biasa hanya paling dapat Rp50 ribu sampai Rp 100ribu," ujarnya.

Mastari mengatakan, dia tidak memiliki kebun sendiri. Karena itulah, dia selalu berpindah-pindah tempat mencari buah kelapa. "Alhamdulilah, masih banyak pohon kelapa di sini. Jadi kalau habis, pindah ke desa sebelah," kata transmigran asal Pulau Jawa ini. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya