VIVA.co.id – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menolak permohonan justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerjasama, yang diajukan oleh Direktur Utama PT. Melati Technofo Indonesia, Fahmi Dharmawansyah, terkait kasus dugaan suap proyek satelit monitoring di Bakamla.
Label justice collaborator lazimnya diberikan penegak hukum kepada para tersangka atau terdakwa yang bersedia kerjasama untuk membongkar dugaan keterlibatan pihak lain, atau pelaku utama atau aktor intelektual pada kasus yang mendera si tersangka atau terdakwa tersebut.
Menurut Jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani, ada sejumlah alasan pihaknya menerima pengajuan justice collaborator dari seorang tersangka atau terdakwa. Pertimbangan pertama yakni peranan pihak yang mengajukan. Dampaknya, terdakwa bisa mendapat keringan hukuman.
"Kriteria seseorang dapat menjadi justice collaborator, di antaranya bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya, memberikan keterangan sebagai saksi dan memberikan bukti-bukti yang signifikan, serta mengembalikan aset tindak pidana yang diterima," kata Jaksa Kiki di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu 10 Mei 2017.
Sementara tim JPU KPK menilai terdakwa Fahmi adalah salah satu pelaku utama, atau aktor intelektual, atau 'otak' praktik penyuapan kepada pejabat Bakamla terkait proyek satelit monitoring.
"Maka permohonan justice collaborator yang diajukan oleh terdakwa tidak dapat dikabulkan," kata jaksa Kiki di hadapan majelis hakim saat membacakan surat tuntutan.
Adapun pada pokok perkaranya, Jaksa KPK meminta majelis hakim menjatuhkan pidana selama empat tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan kepada suami artis Inneke Koesherawati tersebut.
Sebab, berdasarkan fakta persidangan, Fahmi terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap empat pejabat Bakamla untuk memenangkan perusahaannya yakni PT MTI pada tender satelit monitoring di Bakamla tahun 2016.
Pada perkara yang sama, dua pegawai Fahmi, yakni Hardi Stefanus dan M. Adami Okta juga telah dijerat KPK. Selain itu, yang dijerat KPK yakni pejabat Bakamla, Eko Susilo Hadi dan Nofel Hasan. (ren)