Menilik Aturan Soal Pembubaran Ormas

Ilustrasi ormas Islam yang tengah menggelar demonstrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Dalam mengambil keputusan tersebut, mereka mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat atau Ormas.

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Setidaknya ada lima alasan pembubaran. Salah satunya adalah kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Menilik pada UU Ormas tersebut, pemerintah memang berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang dinilai melanggar (pasal 60 ayat 1). Namun demikian, mereka juga diwajibkan melakukan upaya persuasif terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan tersebut (pasal 60 ayat 2).

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

Pembubaran juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah harus melewati banyak tahap.

Pasal 61 menyebutkan bahwa sanksi administratif terdiri dari peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII, Polisi Akan Periksa Panitia Penyelenggara Acara

Peringatan tertulis juga harus ada kesatu, kedua, dan ketiga (pasal 62 ayat 1 a, b, dan c). Kemudian diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 hari (pasal 62 ayat 2).

Bila ormas tersebut mematuhi sebelum 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut peringatan tertulis tersebut (pasal 62 ayat 3). Tapi jika ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kesatu sampai 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua (pasal 62 ayat 4). Mekanisme yang sama berlaku untuk peringatan tertulis ketiga (pasal 62 ayat 5).

Pada pasal 64, bila ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga maka pemerintah bisa menjatuhkan penghentian bantuan dan/atau hibah, dan penghentian sementara kegiatan.

Namun, pasal 65 khususnya ayat 1 dan 2 menyebutkan penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas dengan lingkup nasional, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Kemudian, apabila dalam jangka waktu paling lama 14 hari MA tidak memberikan pertimbangan hukum, pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan.

Pasal 66 menyatakan sanksi penghentian sementara kegiatan dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan (ayat 1). Dalam hal jangka waktu penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir, ormas dapat melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan ormas. Dalam hal ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut sanksi penghentian sementara kegiatan.

Lalu pasal 67 ayat 1 menyatakan dalam hal ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut sanksi penghentian sementara kegiatan. Ayat 2, pemerintah atau pemerintah daerah wajib meminta pertimbangan hukum MA sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat 3, MA wajib memberikan pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam jangka waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya permintaan pertimbangan hukum.

Pasal 68 ayat 1, dalam hal ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum. Ayat 2, sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum. Ayat 3, sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Aturan soal pembubaran ormas itu secara lebih rinci masih diatur lagi pada pasal 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, dan 78. Pada intinya, pembubaran ormas harus melalui proses di pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap.

Dalam undang-undang tersebut, ormas memang diwajibkan memiliki asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (pasal 2). Ormas diizinkan mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita mereka asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (pasal 3).

Mereka juga diharuskan memenuhi kewajiban-kewajiban, selain memang memiliki hak-hak tertentu (pasal 21). Undang-undang itu yakni pada pasal 59 mengatur soal apa saja larangan bagi ormas di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya