Ada Paham Radikal di Kampus, Rektor Harus Bertanggungjawab

Menristek Moh. Nasir dan Kepala BNPT Suhardi Alius di Semarang..
Sumber :
  • VIVA co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id – Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mewanti-wanti seluruh Rektor di Indonesia terkait ancaman besar paham radikal di kampus. Menurutnya, paham terlarang itu sudah jelas mengancam sendi-sendi kebangsaan akibat arus globalisasi. 

Mantan Napiter Dukung Upaya BNPT Lindungi Perempuan dari Radikalisme

"Radikalisme ini telah merebak, karena pengaruh internasional globalisasi. Maka Indonesia menyatakan diri melawan melalui kampus-kampus negeri maupun swasta," kata Nasir saat memberi kuliah umum dan Deklarasi Semangat Bela Negara di Universitas Negeri Semarang, Sabtu, 6 Mei 2017.

Nasir menegaskan, Rektor adalah orang yang paling bertanggungjawab jika radikalisme terjadi dalam kampus. Sehingga aturan tegas terkait sanksi temuan radikalisme di kampus telah dibuat dengan menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Di Banten, Habib Luthfi dan BNPT Serukan Pencegahan Paham Radikal

"Kita minta mereka (rektor) bisa mengawasi dosen dan mahasiswa. Aturan telah kita buat dan sanksinya kita terapkan sesuai hukum yang ada," kata mantan Rektor Universitas Diponegoro itu.

Selain itu, Kementeriannya kini juga terus menggencarkan langkah antisipasi melalui regulasi untuk menguatkan gerakan anti radikalisme. Gerakan itu dengan memasukkannya ke dalam kurikulum di setiap kampus negeri maupun swasta. 

Radikalisme Tersebar Luas, BNPT: Aksi Terorisme Lone Wolf Meningkat

"Sudah kita masukkan dalam kurikulum sejak tahun 2016. Materinya soal bela negara dan wawasan kebangsaan, serta pendalaman mengenai empat pilar," jelas Nasir.

Di hadapan para rektor dan mahasiswa, Nasir juga mewanti-wanti bahaya media sosial yang kerap dipakai untuk penyebaran paham radikal. Karenanya, deklarasi semangat bela negara dan anti radikalisme serta narkoba penting dilakukan secara masif. 

Sementara Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, menyatakan, pihaknya telah banyak menangani berbagai ancaman paham radikal di dalam kampus. Terbaru, satu kasus terjadi terkait adanya deklarasi paham radikal di suatu kampus, namun hal itu tak terdeteksi oleh petinggi kampus tersebut.

"Cukup banyak. Kita tangani, bukan hanya perguruan tinggi negeri saja, swasta juga banyak. Kita lihat kemarin ada deklarasi yang ribut. Tak perlu saya sebut nama perguruan tingginya. Itu yang terdeteksi. Saya tidak bisa menerima itu sebenarnya. Kenapa enggak dilaporkan pihak kampus, padahal sudah lama," jelas Suhardi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya