KPK Jelaskan Kronologi Kerugian Negara Kasus SKL BLBI

Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada kerugian negara mencapai Rp3,7 triliun atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK sudah menjerat Syafruddin Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, sebagai tersangka.

Satgas BLBI Sita Aset Properti Obligor Sjamsul Nursalim

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan bahwa kerugian negara itu terjadi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

"SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligator BLBI kepada BPPN," kata Basaria di kantor KPK, Jakarta, pada Selasa, 25 April 2017.

Sjamsul Nursalim Dikabarkan Lunasi Utang BLBI, Ini Kata Satgas

Menurut purnawirawan inspektur jenderal polisi itu, pada tahun 2002, Syafrudin sebagai Kepala BPPN mengusulkan agar disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

Kemudian terjadilah perubahan proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp4,8 triliun.

Sjamsul Nursalim Cicil Utang BLBI Rp150 Miliar

Hasilnya, restrukturisasi aset Sjamsul Nursalim hanya Rp1,1 triliun. Sedangkan yang Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.

"Sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp3,7 triliun yang masih belum ditagihkan," kata Basaria.

Meski terjadi kekurangan tagihan, Syafrudin pada April 2004 tetap menerbitkan SKL terhadap Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya pada BPPN.

Sejak dua tahun lalu, KPK telah menduga ada masalah dalam proses penerbitan SKL kepada sejumlah obligor. SKL diklaim memberikan jaminan kepastian hukum kepada debitur yang dikategorikan telah menyelesaikan kewajiban dan tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajiban berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham.

SKL dikeluarkan BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Ketika itu, Presiden RI dijabat Megawati Soekarnoputri. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya