Saksi Ahli Sidang Ahok Legawa Diberhentikan MUI

Basuki Tjahaja Purnama alais Ahok di ruang sidang PN Jakarta Utara.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id – Ahmad Ishomuddin, mantan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI beberapa hari lalu dihadirkan menjadi saksi ahli dalam persidangan dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Belakangan, polemik terjadi dan ia pun diberhentikan oleh MUI.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Namun pihak MUI membantah bahwa pemberhentian Ishomuddin terkait dengan kesaksiannya soal agama di sidang Ahok. Menurut MUI, dia diberhentikan karena tidak aktif lagi di MUI.

Dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Ishomuddin menjelaskan perihal dirinya yang dihadirkan menjadi saksi ahli dalam persidangan.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

"Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasihat hukum bapak BTP (Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan kepadanya. Penasihat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia sebagaimana dewan hakim dan para JPU (Jaksa Penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15," kata Ishomuddin pada Sabtu 25 Maret 2017.

Dia mengatakan menyadari dan siap mental menghadapi risiko apapun termasuk mempertaruhkan jabatannya baik sebagai Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020 maupun sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat periode 2015-2020). Itu dilakukan kata dia, demi menegakkan keadilan.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

"Sebab sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus pak BTP. Sebagian umat yakin ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan surat Al-Maidah ayat 51," ujarnya.

Oleh sebab itu menurutnya, perselisihan tersebut perlu segera diselesaikan di pengadilan agar di negara hukum, warga negara tetap tertib dan menghormati hukum.

"Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan di persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat," katanya.

Ia menegaskan, dirinya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi yang memang dianggap kredibel sebagai ahli agama.
 
Dia mengatakan berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepada orang secara tidak adil atau zalim yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah.  

"Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main hakim sendiri di negara hukum," katanya.

Ia menambahkan, di persidangan dirinya tidak mengaku sebagai ahli tafsir melainkan fiqih dan ushul al-fiqh yaitu ilmu yang sudah sejak lama dia tekuni dan ia ajarkan kepada para penuntut ilmu.

Namun, menurutnya, hal itu bukan berarti dia buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir.

"Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab bukan dari buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kyai saya di berbagai pondok pesantren," ujarnya.

Selain itu, saat dirinya ditanya tentang pendidikan terakhir oleh ketua majelis hakim sebelumnya, ia menjawab bahwa pendidikan formal terakhirnya adalah strata 2 dengan konsentrasi Syari'ah.

"Saya memang belum bergelar doktor. Meski saya pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal menyusun disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang menyebut saya doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya sebagaimana saat orang menyebut saya haji karena benar saya belum haji. Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa bahwa saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya