Presiden Jokowi Didesak Tolak Revisi UU KPK

Presiden Joko Widodo.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/IORA Summit 2017/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi ini dinilai belum perlu karena akan melemahkan KPK.

Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapat 61 Persen Saham Freeport Indonesia, Meski Alot Negosiasinya

"Revisi UU KPK tersebut dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Urgensi revisi UU KPK sama sekali tidak jelas," kata peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim, di Yogyakarta, Selasa 21 Maret 2017.

Hifdzil mengatakan ada empat poin yang menjadi sorotan dalam revisi UU KPK ini. Ia menyebutkan seperti perlunya dewan pengawas, pengaturan penyadapan, KPK tidak dapat melakukan pengangkatan penyidik independen, dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Gus Miftah Curiga Jokowi Pilih Bahlil Lahadalia Jadi Menteri Karena Lucu, Bukan Prestasi

Menurutnya,  munculnya dewan pengawas yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan dan penyitaan ini akan menjadi resisten. Pasalnya, dewan pengawas dipilih dan diangkat presiden. Lalu terkait penyadapan dapat dilakukan setelah bukti permulaan yang cukup. Hal ini menimbulkan konsekuensi penyadapan baru bisa dilakukan saat tahap penyidikan.

“Padahal penyadapan diperlukan sejak proses penyelidikan. Kalau penyadapan baru boleh dilakukan setelah ada bukti awal yang cukup, maka tidak jadi menyadap, ini cukup menggelikan” lanjut Hifdzil.

Jokowi Tegaskan Freeport Bukan Milik Amerika Lagi, tapi Indonesia

Terkait penyidik independen. KPK hanya boleh mengangkat penyidik dari lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Hal yang sewaktu-waktu membuat penyidik bisa ditarik kembali ke instansi asalnya. Jika penyidik dari instansi lain maka ada potensi konflik kepentingan saat penyidik menangani kasus yang melibatkan institusi masing-masing.

“Terkait kewenangan KPK menerbitkan SP3 ini jelas menjadi langkah mundur karena dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk menghentikan suatu perkara. Tanpa SP3, KPK justru lebih dapat menjamin kualitas dan kematangan dalam menangani kasus,” sebutnya.

Revisi UU KPK dan Angket e-KTP

Peneliti Pukat UGM lain, Zaenur Rohman, revisi UU KPK merupakan upaya yang dilakukan DPR yang saat ini gencar melakukan sosialisasi termasuk di beberapa perguruan tinggi. Upaya pelemahan KPK tidak hanya melalui revisi UU KPK, namun juga ditunjukkan dengan wacana hak angket dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP.

Menurutnya, pengajuan hak angket menjadi tak tepat saat ditujukan kepada KPK yang tengah mengusut kasus korupsi e-KTP. Pasalnya, usulan hak angket ini akan memengaruhi penegakan yang dilakukan KPK.

“Proses penegakan hukum tidak semestinya diganggu oleh manuver-manuver politik,” katanya.

Zaenur meminta DPR untuk menghormati proses hukum kasus e-KTP. Tidak hanya itu, juga menghentikan berbagai bentuk manuver poltik yang dapat memengaruhi proses hukum, termasuk hak angket.

“Kami terus mendukung KPK untuk melanjutkan proses hukum kasus e-KTP hingga tuntas,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya