Komnas HAM Harap Kasus Buni Yani dan Ahok Cepat Selesai

Jumpa pers Komnas HAM. (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • M Nadlir

VIVA.co.id - Tersangka dugaan penghasutan berbau Sara, Buni Yani bersama tim kuasa hukumnya mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 27 Februari lalu. Buni Yani ingin mengadukan proses hukumnya ke lembaga tersebut.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Menurut Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Hafid Abbas, Buni Yani merasa diperlakukan tidak adil dan terkesan kasusnya dipaksakan meskipun unsur pidana penghasutan tidak terbukti.

Hafid menuturkan, Komnas HAM sebagai lembaga negara yang independen sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 39/1999 tentang HAM dan sejumlah undang-undang lainnya, tidak akan mengintervensi proses hukum yang tengah berlangsung atas kasus Buni Yani dan Ahok yang telah menyita perhatian publik.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

"Komnas HAM berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan cepat, tuntas dan terbebas dari segala bentuk intervensi dan diskriminasi sesuai dengan prinsip-prinsip supremasi hukum dan asas kesamaan di hadapan hukum," kata Hafid dalam keterangannya, Kamis, 9 Maret 2017.

Atas kasus yang telah berlangsung cukup lama ini, Komnas HAM mencatat beberapa realitas yang kelihatannya dapat dijadikan yurisprudensi untuk mempercepat penuntasan penyelesaian kasus.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

Pertama adalah kasus Arswendo Atmowiloto yang juga telah menyita perhatian masyarakat di akhir 1990. Arswendo mempublikasikan hasil surveinya di tabloid monitor pada 15 Oktober 1990.

Survei Itu hendak menjawab siapa sebenernya tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia. Hasil survei itu menempatkan antara lain Presiden Soeharto di urutan pertama sedangkan Nabi Muhammad ada di urutan kesebelas.

"Publikasi ini kemudian menimbulkan kontroversi yang luas dan sejumlah aksi sehingga Arswendo dijerat dengan pasal pasal KUHP terkait panodaan agama dan divonis hukuman lima tahun penjara," ujarnya.

Yang menarik dipetik dari kasus ini, katanya, aparat penegak hukum dapat menyelesaikan kasus Arswendo dalam waktu yang relatif singkat.

Setelah polling pada awal oktober, terjadi protes yang eksklalatif, sehingga pada 22 Oktober 1990 kantor Arswendo didemo massa, Hanya lima hari kemudian, pada 27 oktober 1990, Arswendo ditahan polisi. Tidak berapa lama kemudian seluruh proses kasusnya diselesaikan oleh Kejaksaan dan Pengadilan dan Arswendo akhirnya menjalani hukumannya di LP Cipinang dan ia bebas pada 27 Desember 1995.

"Apabila kasus Arswendo dapat ditangani dan diselesaikan oleh aparat penegak hukum dengan cepat dan tuntas, mengapa kasus lain terkesan berlarut-larut," katanya.

Kedua adalah kasus Permadi yang juga terkait dengan penodaan agama pada pertengahan 1994. Kasusnya berawal ketika Permadi menjadi pembicara dalam Panel Forum Lembaga Kepresidenan di kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 28 April 1994.

Dalam forum itu, Permadi antara lain menyebutkan, kekuasaan besar akan mengubah seseorang menjadi diktator. "Soekarno diktator, Soeharto diktator dan juga Nabi Muhammad adalah diktator," kata dia.

Atas pernyataan itu, Permadi dinilai menghina Islam. Ia kemudian ditangkap dan ditahan dan diproses secara hukum dan akhirnya divonis untuk menjalani hukuman kurungan selama tujuh bulan di LP Yogyakarta.

"Semua proses hukum atas kasus Permadi berjalan lancar, cepat, tanpa ada kendala-kendala yang berarti," katanya.

Ia pun mencatat, kasus-kasus penistaan agama lainnya yang terjadi di Tanah Air dalam tiga-empat dekade terakhir kelihatannya cukup banyak dan amat beragam. Namun secara keseluruhan dapat diselesaikan dengan cepat dan tuntas oleh aparat penegak hukum.

"Masyarakat luas dapat menerima keputusan final dari seluruh proses hukum itu karena dinilai memenuhi rasa keadilan," ujarnya.

Menurutnya, Indonesia yang telah memilih jalan demokrasi sejak delapan belas tahun terakhir, sebagai negara terbesar berpenduduk Islam, dan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia yang menjujung tinggi supremasi hukum, kini tengah disorot oleh masyarakat internasional dalam penanganan kasus Ahok-Bunl Yani.

"Apabila penyelesaian kasus ini terkesan lambat dan berlarut-larut, tentu akan merugikan citra negeri ini di mata masyarakat luas yang tentu berdampak kepada aspek-aspek ekonomi, sosial, politik dan aspek lainnya," ujarnya.

Ia pun berharap, semoga berbagai pengalaman dan yurisprudensi tersebut dapat dijadikan telaah komparatif untuk mempercepat proses penyelesaian kasus penistaan agama. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya