Mendagri Jangan Terjebak Kalimat Paling Singkat 5 Tahun

Kemendagri Temui Ombudsmen Bahas Nasib Ahok
Sumber :
  • VIVA.co.id/M. Ali. Wafa

VIVA.co.id – Keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk tidak memberhentikan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta karena berstatus terdakwa, sebab pada Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemeberhentian dilakukan apabila tuntutan paling singkat lima tahun.

Pimpinan Al Zaytun Panji Gumilang Dituntut 1,5 Tahun Penjara
Pengajar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Makassar, Fajlurrahman Jurdi mengatakan Mendagri tidak harusnya terjebak pada frasa kalimat itu. Sejumlah undang-undang memang menyebut ada kalimat  “paling singkat” dan “paling lama”.
 
Dia mencontohkan, pada Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK mengatur mengenai pemberhentian sementara Anggota BPK, yang berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan sementara dari jabatannya oleh BPK melalui rapat Pleno apabila ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun atau lebih. 
 
Juga UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi “Presiden memberhentikan Menteri yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun atau lebih". 
 
"Norma pasal ini bersifat imperatif, perintah langsung untuk diberhentikan. Karena itu bukan choice (pilihan). Presiden tidak bisa memilih memberhentikan atau tidak memberhentikan. Berbeda jika bunyi norma undang-undangnya disertai kata-kata “dapat”, seperti “dapat diberhentikan”. Bunyi norma yang demikian disebut fakultatif, karena sifatnya “mengatur”, bukan “memaksa”," jelas Fajlurrahman kepada VIVA.co.id, Rabu 22 Februari 2017.
 
Sementara dalam kasus Ahok, pasal yang didakwakan adalah Pasal 156-a KUHP. Yang berarti, lanjut Fajrlurrahman, masuk pada tindak pidana umum. Diakuinya, yang menjadi kontroversi adalah adanya kalimat 'dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun'.
 
"Hal ini sama dengan analogi: cacing yang diteliti si A agak panjang, sementara cacing yang diteliti si B agak pendek. Apakah karena panjang dan pendeknya, lalu kita menyimpulkan salah satunya bukan cacing? Tentu saja tetap cacing. Sama dengan angka 5 (lima) yang diperdebatkan dalam kasus Ahok, apakah dengan rumusan 'paling lama 5 (lima) tahun' dan 'paling singkat 5 (lima) tahun' lalu kita memutuskan salah satunya bukan angka 5 (lima)? Kalau demikian adanya, dalam ilmu logika, kita disebut sebagai sesat berpikir," jelas dia.
 
Untuk itu, norma semua undang-undang mengatur tentang pemberhentian pejabat yang menjadi tersangka atau terdakwa. Tujuannya, membersihkan jabatan tersebut dari hal-hal yang memiliki potensi berhubungan dengan perbuatan jahat.
 
Juga, lanjut Fajlurrahman, agar masyarakat tetap memiliki tingkat kepercayaan terhadap pejabat atau jabatan publik tersebut.
 
"Proses hukum yang dijalani oleh si pejabat menunjukan adanya problem individu yang berpotensi merusak dan mendistorsi moralitas lembaga publik tempat ia menjabat. Itulah sebabnya, menurut saya, memberhentikan Ahok dengan menegakkan hukum yang sedang menghadapi kasus pidana adalah cara untuk menyelamatkan entitas publik yang lebih luas," jelas Fajrlurrahman.
 
Untuk itu lanjut Fajrlurrahman, tidak seharusnya hanya seorang Ahok tidak membuat pemerintah tidak memberhentikannya. Karena masalah hukum, sudah dilanggar dengan berstatus terdakwa.
 
"Haruskah semua orang kehilangan akal sehatnya untuk menyelamatkan satu orang yang sedang didakwa dipersidangan dan terang-terangan melawan hukum? Alangkah kurang bijaksananya jika demikian yang terjadi," tutup dia.
Gus Samsudin saat diamankan polisi.

Gus Samsudin Terancam Dijerat Pasal Berlapis gegara Video Aliran Sesat Tukar Pasangan

Pasal berlapis itu menurut polisi yang berpotensi menjerat Gus Samsudin adalah UU ITE hingga penodaan agama.

img_title
VIVA.co.id
2 Maret 2024