Bertemu Jokowi, Kelompok Cipayung Bahas Bahaya Komunisme

Kelompok Cipayung bertemu Presiden Jokowi
Sumber :
  • VIVA/Agus Rahmat

VIVA.co.id – Forum Komunikasi Kelompok Cipayung bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Selasa, 21 Februari 2017. Sejumlah tokohnya seperti Mahfud MD, Ahmad Basarah maupun Akbar Tanjung, terlihat ikut hadir dalam pertemuan lebih dari satu jam tersebut.

Pemerintah Bakal Tambah Saham di Freeport Indonesia Jadi 61 Persen, Begini Penjelasan Tony Wenas

Koordinator forum, yang juga Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI), Ahmad Basarah, mengatakan pertemuan dengan Presiden Jokowi membahas berbagai persoalan yang terjadi selama enam bulan belakangan ini.

"Khususnya kami kelompok Cipayung yang suasana kebatinan itu kami potret dari suasana kebatinan masyarakat yang mana perasaan, rasa dan semangat kebangsaan akhir-akhir ini seakan-akan mengalami ujian begitu berat," ujar Basarah, usai bertemu Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Selasa 21 Februari 2017.

Antre Open House Jokowi Sempat Ricuh, Istana Minta Maaf

Karena prihatin dengan kebangsaan ini, lanjut Basarah, kelompok Cipayung yang sudah ikut dalam dinamika perkembangan bangsa sejak puluhan tahun silam, memberikan pokok pikiran dan rencana aksi ke Presiden Jokowi. Yakni semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, Mahfud MD, menambahkan, pembicaraan untuk memperkuat pemahaman ideologi bangsa yakni Pancasila. Salah satu elemen dari Pancasila itu adalah pluralisme.

Sekjen PDIP soal Teman Megawati di Open House: Yang Tunjukkan Komitmen Indonesia Bukan Bagi Keluarga

"Pluralisme di mana kita hidup bersama di dalam keberbedaan dan tetap bermain untuk memperjuangkan aspirasi berbagai kelompok itu, tetapi permainan itu di dalam koridor demokrasi yang nanti dipagari oleh apa yang disebut demokrasi penegakan hukum. Nah, Presiden sangat setuju dengan itu," kata Mahfud.

Kelompok Cipayung ini juga menyampaikan lima pokok pikiran. Salah satu poinnya, adalah mewaspadai gerakan-gerakan ekstremisme hingga komunisme.

"Bahwa praktik demokrasi politik yang kita laksanakan saat ini telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang sangat ekstrem seperti liberalisme, fundamentalisme, komunisme, sektarianisme, radikalisme dan terorisme serta ajaran lainnya yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penyimpangan dari praktik demokrasi ini mengambil bentuk nyata dalam menguatnya politisasi SARA dan fenomena hoax dalam proses pembangungan demokrasi saat ini," bunyi salah satu poin tersebut. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya