Penolakan Lokasi Cap Go Meh Bentuk Krisis Toleransi

Lontong Cap Go Meh. Foto ilustrasi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka (Malang)

VIVA.co.id – Penolakan perayaan Cap Go Meh 2017 di Masjid Agung Jawa Tengah oleh segelintir ormas Islam mendapatkan tanggapan serius dari berbagai pihak. Direktur Yayasan Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin menilai Kota Semarang mulai krisis toleransi.

100 Kilometer Jalan di Jateng Rusak karena Banjir, Perbaikan Dikebut hingga H-7 Lebaran

"Cap Go Meh itu selebrasi (perayaan) budaya kok, bukan selebrasi agama. Ini tradisi kebudayaan dan bukan ibadah. Kenapa harus dilarang diadakan di masjid," kata Tedi di Semarang, Sabtu, 18 Februari 2017.

Menurut Tedi, perayaan budaya etnis Tionghoa Cap Go Meh tak jauh beda dengan perayaan-perayaan kebudayaan lain yang ada di Indonesia. Ia berpendapat, Cap Go Meh bisa dirayakan di tempat mana pun sepanjang tidak melanggar hukum.

Waduh, Polda Jateng Amankan 1.904 Pelaku Perzinahan Selama Ramadhan

"Saya sepakat jika perayaan Cap Go Meh itu tidak dilakukan di area utama masjid, karena untuk salat. Tapi kalau diadakan di halaman masjid, apa salahnya?" ujarnya.

Terlebih, perayaan Cap Go Meh 2017 yang bertema 'Pelangi Merajut Nusantara' itu hanya bertujuan menjaga persatuan dengan menjalin kebersamaan lintas etnis dan agama. Bahkan, narasumber acara juga merupakan tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti ulama kharismatik Mustofa Bisri atau Gus Mus serta Habib Lutfi Bin Yahya.

Gerakan Muslim Jawa Tengah Dukung Sudaryono Jadi Cagub Jateng

Selain itu, menurut Tedi, masjid sejatinya merupakan tempat peradaban. Dalam beberapa literatur kitab klasik, masjid menjadi tempat untuk bermusyawarah, mengadakan kegiatan warga, dan menyusun kekuatan perang.

"Kami sangat menyayangkan sikap ormas ini. Mengapa kita tidak mengedepankan persaudaraan?" katanya.
 
Diketahui, imbas protes ormas dari Forum Umat Islam Semarang ini menjadikan panitia acara memindahkan lokasi. Dari semula diadakan di pelataran Masjid Agung Jawa Tengah akhirnya dipindah di Halaman Balai Kota Semarang pada Minggu, 19 Februari 2017.

Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Jawa Tengah, yang juga penggagas acara, Dewi Susilo Budiharjo menyayangkan penolakan ormas tersebut. Menurutnya, selain kegiatan sosial, juga menjadi wadah menjaga persatuan dengan menjalin kebersamaan lintas etnis dan agama.

"Acara kami tidak lebih hanya untuk menjaga persatuan dan kebhinekaan. Kita ingin menciptakan kerukunan. Menurut kami, Masjid Agung selama ini mewakili sikap toleransi dan juga simbol Jawa Tengah," katanya.

Perayaan Semarak Cap Go Meh 2017 tersebut berisikan sejumlah agenda kesenian dan dakwah berbagai tokoh agama seperti, Habib Lutfi, Gus Mus, Romo Aloysius Budi, YM Bhante Dhammasubho, serta Marga Singgih. Selain itu juga akan diisi dengan pemecahan rekor makan lontong Cap Go Meh oleh 11.000 pengunjung.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya