Ketika Tren Perempuan Terlibat Aksi Teror Meningkat

Surat wasiat Dian Yuli Novi, perempuan tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 di Bekasi beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • istimewa

VIVA.co.id – Fenomena perempuan Indonesia untuk terlibat dalam gerakan radikal dilaporkan meningkat. Salah satunya adalah dengan menjadi pelaku bom bunuh diri. “Jihad” bercampur dendam menjadikan mereka bahaya yang mungkin saja tak tertebak.

Perempuan dan Anak-anak Palestina Menanggung Beban Paling Berat

Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam laporan terbaru mereka yang dirilis 31 Januari 2017, memang mencatat ada pergerakan nyata tentang para perempuan yang ikut berperan dalam kelompok radikal.

Penelitian menunjukkan, keterlibatan itu justru atas dasar inisiatif mereka. Perempuan sepertinya juga ingin berjuang dan mengambil jatah dalam penyebaran teror.

Heboh, Ramalan Hard Gumay Soal Nagita Slavina Punya Anak Perempuan Jadi Kenyataan

"Wanita ingin diakui sebagai pejuang sebagai hak mereka," tulis laporan IPAC yang dikutip VIVA.co.id, Jumat, 3 Februari 2017.

Di Indonesia, dalam catatan IPAC, selama 18 bulan terakhir, 2015-2016, pergerakan perempuan untuk terlibat aktif dalam gerakan radikal merangkak naik. Setidaknya dalam rentang waktu itu, telah ada sejumlah perempuan yang ditangkap.

Warga Kian Resah Dengan Maraknya Pelacuran di Jalanan Kota Ini

Tentunya dengan beragam peran yang berbeda. Namun tetap dalam garis untuk bertindak radikal. Berikut sejumlah perempuan tersebut:

Desember 2016
Sepanjang bulan ini, ada empat perempuan yang diamankan. Mereka yakni, Dian Yulia Novi, Ita Puspitasari alias Tasnima Salsabila, Tutin Sugiarti dan Arida Putri Maharani.

Dian Yulia Novi dikenal sebagai pelaku bom bunuh diri untuk kawasan Istana Negara dengan bom panci. Namun ia berhasil diamankan sebelum aksinya berjalan.

Untuk Ita Puspitasari, mantan tenaga kerja wanita ini juga merupakan pelaku bom bunuh diri. Dengan target sasaran adalah wilayah Bali. Saat ini ia telah diamankan sebelum beraksi oleh kepolisian.

Lalu, Tutin Sugiharti adalah pemilik toko obat herbal dan terapi. Ia diamankan lantaran memfasilitasi Dian Yulia untuk berkenalan dengan pemimpin sel teroris, Nur Solihin, yang kemudian menjadi suaminya Dian Yulia.

Dan terakhir, Arida Putri Maharani atau istri pertama dari Nur Solihin, ia diamankan lantaran ikut membantu suaminya membuat bom untuk aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan Dian Yulia Novi.

Juli-Oktober 2016
Dua perempuan bernama Tini Susanti Kaduku dan Jumiatun alias Umi Delima diamankan tim Operasi Tinombala di Poso. Umi Delima adalah istri sirih dari pimpinan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah. Dan Tini Susanti adalah istri dari Ali Kalora, tangan kanan Santoso.

Kedua perempuan ini ikut angkat senjata di pedalaman hutan Santoso bersama para suaminya.
September 2015
Di sebuat jejaring sosial Telegram, dibentuk grup bernama Aisyah Lina Kamelya yang mengkhususkan para perempuan. Grup jejaring sosial ini dibentuk oleh Baqiyah United Group (BUG) yang menghubungkan keanggotannya mulai dari India, Kenya, Libya bahkan Indonesia.

Agustus 2015
Ratna Nirmala, istri dari Dwi Djoko Wiwoho, seorang pejabat di Pemerintah daerah Batam, dilaporkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris telah bergabung dengan ISIS. Disebutkan bahwa Ratna-lah yang mendorong Djoko untuk bergabung dengan ISIS.

Perempuan ini disebut memiliki jaringan dalam kelompok radikal di Indonesia dan Malaysia. Karena itu, ia bersama suaminya serta tiga anak perempuannya memilih ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Dari sejumlah catatan itu, sepertinya memang memperkuat keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan radikal. Lalu kenapa para perempuan ini ingin ikut andil dalam pergerakan terorisme?

Dalam laporan IPAC, menyebut bahwa partisipasi para perempuan ini muncul seiring dengan semakin canggihnya aktivitas media sosial. Sehingga membuat penanaman doktrin dan propaganda juga bisa diakses oleh para perempuan yang sebelumnya cuma berada di belakang para suaminya.

Tak cuma itu, dasar lain yang menjadi pertimbangan adalah bahwa di luar negeri khususnya di daerah konflik, telah muncul sejumlah perempuan-perempuan yang berani melakukan bom bunuh diri.

Sehingga membuat para perempuan lain yang awalnya tidak banyak berbuat, kini mulai berpikir agar bisa bertindak mendapatkan tempat yang sama dibanding laki-laki.

"Pemerintah harus menyelidiki lebih jauh tentang jaringan ekstrimis perempuan. Termasuk juga melakukan pemeriksaan mendalam untuk para perempuan yang telah dideportasi dari otoritas Turki," demikian laporan IPAC. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya