Sertifikasi Ulama Itu Baik Asal Jangan karena Politik

Suasana salat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id – Menanggapi munculnya wacana tentang sertifikasi terhadap ulama dan mubalig, Ikatan Masjid Musala Indonesia Muthahidah (IMMIM) mengimbau agar Kementerian Agama bijak dalam menanggapi isu tersebut. Jika memang niatnya baik, boleh asalkan tidak karena politik.

NII Crisis Center Sarankan Kemenag Terbitkan Sertifikasi Penceramah

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMMIM Prof Ahmad M Sewang, saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 3 Februari 2017. Menurutnya, jika memang karena niat yang baik, IMMIM siap mendukung.

"Jadi begini sertifikasi (ulama) itu mungkin saja bertujuan baik, karena itu bertujuan baik maka kita harus dukung, asal jangan bertujuan politik, itu saja," kata Guru Besar Antropologi Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar itu.

Cek Fakta: Kemenag Luncurkan Program Sertifikasi untuk Pendakwah

Gagasan standarisasi ulama memang bukan inisiatif Kementerian Agama. Wacana itu tindak lanjut aspirasi yang berkembang di kalangan ormas-ormas Islam dan sejumlah tokoh. Usulan itu menginginkan agar pemerintah ikut hadir menjamin kualitas mutu dari khotbah Jumat yang dirasa banyak melenceng dari syarat dan rukunnya.

Prof Ahmad mengatakan, saat ini ulama dan mubalig memang harus memiliki standarisasi. Kualifikasinya yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademisi.

MUI Tegas Menolak dan Tidak Ikut Program Sertifikasi Dai Kemenag

Ia menuturkan, jika akan dilakukan sertifikasi, ulama dan mubalig saat ini harus dilihat dari tingkat pendidikannya.

"Pertama kita lihat tingkat kesarjanaan seseorang, semakin tinggi semakin banyak nilainya. Kedua, jam terbang dari seorang ulama dan mubalig. Semakin lama semakin banyak nilainya. Kemudian posisinya di masyarakat bagaimana," katanya.

Setelah menentukan itu, lanjutnya, nilai dari ulama dan mubalig akan ditetapkan predikat sertifikasinya. Predikat itu nantinya akan disesuaikan di mana ulama dan mubalig bisa menyampaikan ceramah.

"Lalu kemudian kita menentukan ABC-nya, apakah hasilnya itu mubalig,memiliki kualifikasi A, B, atau C. Lalu kemudian masjid juga diklasifikasi namanya, ada masjid tipe A, yang ditandai dengan ramainya masjid itu, ramainya jemaah, ditandai dengan aktivitas yang ada di dalamnya, ditambahi dengan banyak kegiatan yang ada di dalam. Kemudian, tempatnya strategis dan seterusnya," ujarnya.

Pentingnya sertifikasi ulama dan mubalig menurutnya, karena masyarakat memang banyak mengeluhkan adanya ulama dan mubalig yang membawakan materi ceramah yang tidak relevan. Bahkan, dengan adanya sertifikasi ulama, dapat mencegah penyebaran paham-paham yang bermuatan provokatif.

"Karena ini memang sementara yang menjadi problema bagi para jemaah masjid dan pengurus masjid. Mereka mempertanyakan kenapa mubalig itu yang dikirim kemari, yang materinya tidak relevan, cara membawakannya, pelafalan Alquran dan hadis tidak fasih dan seterusnya," kata Prof Ahmad.

Lebih lanjut, Prof Ahmad mengatakan, ulama dan mubalig bagaikan seorang dokter yang akan mengobati pasien. "Sebab mubalig itu kan persis dengan dokter, dia datang mengobati pasiennya, jemaahnya. Jangan yang sakitnya sakit ini diberi obat itu, itu kan bahaya itu," katanya.

Ia juga berharap, ada kegiatan khusus bagi ulama dan mubalig guna meningkatkan pemahaman dan pengetahuannya. Baik itu dalam bentuk pelatihan khusus dengan pemberian materi.

"Materinya setiap bulan, melakukan pencerdasan dan pencerahan bagi mubalig. Setiap bulan itu supaya jangan sembrono dalam menyampaikan sesuatu. Sesuatunya yang sangat relevan dan ingat memakai nilai-nilai relevansi, jalan tengah, tidak boleh membawa masalah politik di dalam masjid, karena jemaah itu sangat beragam," ujarnya. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya