- raudhatul zannah/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar berpotensi menggoyahkan aspek kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga hukum tertinggi di Indonesia.
Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, menilai salah satu penyebab kejadian ini terulang kembali sejak kasus yang menjerat Akil Mochtar pada 2013 silam, disebabkan karena selama ini proses rekrutmen hakim konstitusi belum transparan.
"Harus ada perubahan total pada pola rekrutmen, yang transparan dan sungguh-sungguh," kata Marzuki di sebuah resto kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 Januari 2017.
Dia mengatakan, selama ini pola rekrutmen hakim konstitusi diusulkan oleh tiga pihak, yakni Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung. Namun pada praktiknya, tidak ada acuan baku bagi ketiga lembaga tersebut untuk menentukan mekanisme pemilihan hakim konstitusi tersebut.
Marzuki bahkan menganggap bahwa pola pengusulan seorang hakim konstitusi selama ini lebih berdasarkan kehendak selera dari tiap-tiap lembaga tersebut. "Kemarin mekanisme itu ditentukan oleh masing-masing lembaga. Berdasarkan selera-selera saja," kata Marzuki.
Dia memberi contoh, rekrutmen Patrialis Akbar merupakan usulan sepihak pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karenanya, Marzuki menilai jika integritas dan kompetensi hakim konstitusi itu harus dipertanyakan, terkait mekanisme pemilihannya.
"Soal integritas dan kompetensi, tidak ada tawar menawar sebagai syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Itu wajib, kumulatif, tidak bisa ditawar," Marzuki menegaskan. (ase)