Imlek di Avalokiteswara Banten, Vihara Tua yang Bersahaja

Vihara Avalokitesvara di Banten yang berdiri tahun 1662
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yandi Deslatama

VIVA.co.id – Banten, meski mendapatkan julukan "Negeri Seribu Kiai, Sejuta Santri", menyimpan nilai-nilai toleransi yang tinggi. Di tengah perayaan Imlek, Vihara Avalokitesvara di Banten, yang berdiri tahun 1662, merayakan tahun baru kalender bulan itu secara sederhana.

5 Kuliner Khas Cap Go Meh 2022 dan Makna yang Ada di Dalamnya

Vihara yang berlokasi di Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini menjadi salah satu simbol kerukunan antarumat beragama dan keanekaragaman budaya di ujung barat pulau Jawa.

"Kalau ada keramaian China untuk orang-orang tua, tidak afdol (lengkap) kalau tidak ziarah ke makam Sultan. Sudah puluhan tahun. Bisa jadi penghormatan, bisa jadi sudah menjadi keyakinan mereka," kata Tubagus (TB) Abbas Wasse yang merupakan Ketua Kenadziran Kesultanan Banten saat ditemui di kediamannya yang terletak tepat di belakang Masjid Agung Banten, Sabtu, 28 Januari 2017.

Warga Pontianak Rayakan Cap Go Meh dengan Liukan Naga Bersinar

Vihara yang lokasinya hanya sekitar satu kilometer dari Masjid Agung Kesultanan Banten ini pun berdekatan dengan pemakaman Belanda yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

"Di dekat vihara ada juga pemakaman Belanda di situ. Di sini juga ada perumahan China Tiongkok. Banyak juga ditemukan keramik dari dinasti Ming, dinasti Ching," kata dia.

Berburu Kuliner dan Belajar Sejarah, Gak Perlu ke Negeri China

Namun sayang, saat ingin meminta keterangan dari Asaji selaku humas Vihara Avalokitesvara, yang bersangkutan tidak berada di lokasi.

Berdasarkan sejarahnya, Vihara Avalokitesvara pernah mengalami pemindahan beberapa lokasi seperti pada tahun 1659, vihara ini menempati Loji Belanda. Lalu, pada tahun 1725 pindah di bagian selatan menara Masjid Pecinan Tinggi, hingga akhirnya pada tahun 1774 menempati Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang hingga saat ini.

Banten yang saat itu sebuah kesultanan besar dengan pelabuhan Karangantu membuat seorang putri bernama Ong Tin Nio bersama Anak Buah Kapal (ABK) dalam perjalanan dari China menuju Surabaya, memutuskan bermalam di Pamarican yang merupakan daerah penghasil merica.

Putri Ong pun merasa betah tinggal di Banten, lalu membangun vihara yang awalnya berada di bekas kantor bea (douane). Namun kehadirannya oleh masyarakat sekitar dinilai dapat merusak akidah dan kebudayaan mereka.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah pun menegur keras masyarakat Banten dan memediasi kedua belah pihak. Sunan Gunung Jati menjelaskan bahwa tidak ada paksaan memeluk agama dalam Islam. Setelah masalah selesai, Sunan Gunung Jati pun menawarkan kepada sang putri dan pengikutnya untuk memeluk Islam tanpa adanya paksaan. Hingga akhirnya sang putri beserta pengikutnya pun menjadi mualaf.

Kedatangan masyarakat Tiongkok ke Banten memiliki banyak versi. Ada yang menyebutkan bahwa masyarakat China datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 masehi, dengan bukti pada abad tersebut banyak ditemukan perahu China yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada.

Berdasarkan catatan sejarah dari J. P. Coen, banyak perahu China yang membawa dagangan senilai 300 ribu real. Selanjutnya, masyarakat China tak hanya berdagang namun juga bermukim di Banten hingga jumlahnya lebih dari 1.300 kepala keluarga. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya