Kisah Pelarian Wiji Thukul di Kota Dayak

Aktivis HAM dan seniman Widji Thukul
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.W Wahyu Susilo

VIVA.co.id – Selama hampir setahun tidak ada orang yang tahu Wiji Thukul pernah bersembunyi di Pontianak Kalimantan Barat. Dengan nama samaran Paul, aktivis dan seniman yang kini hilang tak tahu rimbanya itu, lolos dari buruan aparat militer.

Menhub Budi Harap Bandara Singkawang Bakal Dukung Konektivitas di Kalbar

Sejumlah karya puisi pun lahir di tangan Wiji Thukul selama persembunyiannya. Bermodal sepeda tua bekas, Paul berkeliling mengamati seluk beluk kehidupan warga Pontianak.

Salah satu ciri yang mencolok hanyalah topi caping. Ya, Wiji Thukul atau Paul, selalu mengenakan topi caping kemana pun. Beberapa mengenalnya sebagai tukang bakso yang bangkrut dan lainnya sebagai orang frustrasi, hingga sopir bus yang baru dipecat dari Solo.

8 Kabupaten di Kalbar Dilanda Banjir Akibat Intensitas Hujan Tinggi

Lalu, bersama siapa Wiji Thukul hidup di Pontianak? Dan apa saja aktivitasnya selama di persembunyian itu? Kisah itulah yang memunculkan nama Martin. Lelaki berusia lebih dari setengah abad inilah yang rupanya menampung Wiji Thukul selama di Pontianak.

Kecemasan sempat melingkupi keluarga Martin ketika menampung Wiji Thukul. Maklum, nama lelaki dengan mata luka bekas popor senapan itu sudah cukup meluas. Sepak terjangnya menentang rezim Orde Baru bukan perkara kecil.

Lebih Dekat dengan Shindy Valensia, Puteri Indonesia Kalimantan Barat 2 2024

Meski begitu, berkat kecerdikan dan keberanian Martin, hidup Wiji terselamatkan selama di Pontianak. Selama hampir setahun, sejak Agustus 1996 hingga Maret 1997, Wiji Thukul sang legenda, hidup bersama keluarga asal Dayak ini.

Lalu bagaimana cerita Martin soal Wiji Thukul? Simak wawancara kontributor VIVA.co.id Aceng Mukaram dengan Martin ini pada Jumat, 20 Januari 2017.

Wiji Thukul ke Pontianak tak lama setelah ia dinyatakan diburu oleh aparat. Matanya masih belum sembuh usai dihantam senjata. Tak mudah Wiji Thukul menemukan rumah yang aman untuk ditempati. Ia pun pernah tiga kali pindah rumah.

Awalnya Wiji hendak dititipkan di rumah Juweng (rekan Martin). Tapi karena keluarga Juweng banyak datang dari kampung jadi dipindah ke rumah Dalif. Namun disini juga ramai. Akhirnya ia pindah ke rumah Thomas. Tapi rupanya tetap ramai. Karena keluarga yang datang terganggu. Jadilah dia pindah ke tempat kami. Awalnya dia keberatan karena baru kenal. Tapi lambat laun kami akhirnya bisa bergaul.

Di Pontianak, Wiji Thukul diberi nama baru, Paul, oleh keluarga Martin. Itu dilakukan semata untuk melindungi Wiji dari perhatian orang.

Wiji kami panggil Paul. Pernah ada beberapa telepon gelap dan orang tak dikenal datang ke rumah. Mereka menanyakan soal siapa Paul. Lalu kami bilang, ia adalah rekan yang baru dipecat dari sopir bus.

Lalu pernah juga tetangga nanya-nanya, "ini Siapa?" Lalu kami jawab, ini kawan, pedagang bakso dari Solo. Dia dirampok di Solo, jadi harus kesini. Untuk sementara tinggal bersama kami menunggu uangnya ada dan dari kiriman keluarga.

Abang iparku juga pernah curiga dengan Paul. Itu karena penguasaan Wiji Thukul tentang kemiskinan dan sikap kritiknya. "Kalau kapasitas begini, mana mungkin tukang bakso," kata abang iparku. Lalu saya bilang, "Ya namanya orang frustrasi." Begitu terus, jangan sampai penyamarannya ketahuan.

Martin, pria yang menampung Wiji Thukul di Pontianak

FOTO: Martin, warga Pontianak yang menampung Wiji Thukul selama persembunyiannya di Kota Pontianak Kalimantan Barat/VIVA.co.id/Aceng Mukaram

Di rumah Martin, ternyata Wiji Thukul dikenal sebagai sosok yang rajin dan disiplin. Ia juga bisa memasak dan gemar menanam di kebun yang dibuatnya di belakang rumah Martin.

"Dia (Wiji), orangnya kan sangat disiplin. Setiap pagi dia diskusi sama istriku tentang lauk pagi, siang, dan malam. Kadang-kadang di menyapu rumah, memasak, cari sayur di belakang rumah. Dia juga suka bikin bedengan-bedengan, lalu ditanami bibit sayur bayam, wortel sama cabe. Bercocok tanam itu untuk mengobati dirinya. Membuang suntuk.

Wiji juga bisa bertahan di kamar, 10 sampai 12 jam. Kadang-kadang kuintip juga, dia latihan meditasi. Begitu terus. Wiji juga pintar masak. Biasanya sayur toge ditumis. Tapi dia paling suka bercerita. Dia cerita cara mendidik anak, menu masakan, perbedaan Dayak dan Jawa.

Cerita Martin, Wiji juga kerap berkeliling ke luar. Ia suka membeli majalah dan buku.

Wiji sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Karena itu ia sering ikut. Sesekali minta antar ke toko buku, kadang-kadang ke Pasar Flamboyan. Di melihat penjual sayur yang ke luar masuk. Sorenya, dia pasti punya cerita yang seru tentang bagaimana rantai ekonomi dan persoalan degradasi moral di Kalimantan Barat. Ini membuat kami sangat bersimpati dengannya. Apa yang diceritakannya itu menjadi pencerahan bagi saya dan istri.

Di kehidupan baru itulah, Wiji kemudian menelurkan sejumlah puisi. Sejumlah karyanya dikirim ke koran lokal. Sehingga beberapa pihak sempat meyakini ada Wiji Thukul di Kalimantan Barat.

"Wiji kalau mau menulis, biasanya kami antar ke rumah Thomas (rekan Martin). Diantar pakai motor, sorenya dijemput lagi. Lalu saya beli sepeda bekas, itu yang dipakainya ke mana-mana. Pulang dari sana, pasti ada tulisan-tulisan tangan.

Wiji produktif menulis. Ada beberapa puisi yang justru dia dapat bahannya dari berdialog dengan istriku. Misalnya tentang tidak takut masuk hutan malam-malam sama orang kampung. Ada 10 puisi dan dua cerpen dari hasil diskusi dengan istriku.

Di sebar ke seluruh koran dengan nama samaran, Alexius.

Tiga bulan di Pontianak. Keluarga Martin sempat panik dengan kemunculan foto Wiji Thukul di Majalah Detak. Tak ayal orang-orang heboh dengan sosok Paul yang memang mirip.

"Kejadian itu terjadi kira-kira November pertengahan. Ada foto Wiji Thukul masuk majalah Detak. Itu yang membuat aku tegang. Akhirnya kami terangkan. Wiji Thukul punya kawan kembar yang memang bergerak di politik. Setelah itu suasana mulai longgar lagi.

Wiji Thukul

FOTO: Wiji Thukul semasa hidup

Di Pontianak juga, Wiji Thukul mencoba belajar bahasa Inggris. Caranya sederhana yakni dengan cuma mendengarkan radio butut milik Martin.

Aku dulu punya radio yang hampir rusak. Jadi tiap jam 8 malam atau jam 6 pagi, dia (Wiji) harus mendengar itu sambil memegang pulpen dan kertas. Belajar bahasa Inggris melalui radio. Baru kemudian ada kawan mahasiswa dari Kabupaten Sanggau ia kembali mendalami. Apa yang tidak diketahuinya didiskusikannya.

Tepat pada awal Januari 1997, atau lima bulan persembunyiannya di Pontianak, Wiji mengungkapkan rindu dengan istri dan anaknya. Karena itu, Martin pun merelakan Wiji untuk pulang ke kotanya.

Dia bilang aku pasti kembali. Dia bilang cuma rindu anak istri dan segala macam. Istriku sediakan sarung untuk Bang Paul dan sandalnya dibungkus. Lalu aku antarkan ke Pelabuhan Laut Dwikora Pontianak. Dan benar, dia hanya 10 hari.

Januari akhir, dia sudah kembali ke rumah kami. Kemudian Maret akhir, kembali lagi dia bilang, "Aku pulang, aku harus dibolehkan."

Terpaksa lagi akhirnya kami memaklumi rindunya. Dia berangkat di akhir Maret 1997. Dia kuantar.

Maret 1997, menjadi kenangan terakhir Martin melihat wajah Wiji Thukul. Meski begitu Wiji rupanya tetap berkirim surat ke keluarga Martin.

Dua minggu setelah kepergian, tiba-tiba datang satu anak buah kapal barang menjumpai aku. Ia mengirimkan surat, dan menyebut Paul ada di Jakarta dekat Tanjung Priok. Tinggal di pengusaha tekstil.

Bersama surat itu, Paul juga mengirimkan celana jeans, baju tidur ibu-ibu dan celana pendek dan sejumlah uang. Surat itu pun kami balas melalui anak kapal tersebut. Saat itu saya ceritakan bahwa istriku sedang hamil tapi keguguran.

Wiji pernah diisukan menikah lagi selama di Pontianak. Isu itu berkembang setelah sebuah surat antara Martin dan Wiji ditemukan oleh aparat. Bagaimana cerita itu bermula?

Wiji telah mengetahui, istri ku sedang dalam keadaan hamil. Karena itu dalam kiriman surat berikutnya, Wiji sempat menuliskan bahwa ia sedang meminta istrinya untuk menjahit popok untuk anakku nanti. Tapi rupanya berita ini ditangkap penguasa.

Sempat dikeluarkan isu bahwa Wiji Thukul kawin lagi di Pontianak. Padahal tidak. Karena cerita popok tadi. Entah bagaimana padahal untuk anakku.

Kami pun mengirim surat balasan untuk Paul, dan meminta doa agar tidak keguguran lagi. Setelah itu, tidak ada surat lagi. Terakhir mengirim April akhir atau awal Mei. Kemudian tidak dibalas-balas lagi.

Tiga tahun putus komunikasi dengan Wiji Thukul. Martin dikejutkan dengan telepon dari Sipon (istri Thukul) pada awal tahun 2000.

"Bang Martin, Wiji Thukul di mana?" ujar istri Thukul melalui telepon. "Aku juga tidak tahu, kami kehilangan jejak," jawabku. Habis itu rupanya Mbak Pon membuat pengaduan orang hilang ke Kontras. Aku berspekulasi, dia meneleponku untuk konfirmasi bahwa Wiji Thukul menghilang. Terus tidak ada kabar lagi.

Aku cuma dengar isu dari majalah. Katanya dia jadi orang gila di Solo, ada yang bilang dia jadi dosen. Jadi isunya banyak. Jadi aku sengaja menutup diri agar tidak mendengar informasi itu. Kami tidak bisa cerita panjang karena nanti bisa melebar. Baru pada tahun 2011, aku mulai bercerita.

Istri Wiji Thukul menangis menyaksikan film tentang perjuangan suaminya.

FOTO: Sipon atau Dyah Sujirah istri Wiji Thukul menangis usai menonton film Wiji Thukul, “Istirahatlah Kata-kata, di bioskop Grand 21, Solo Grand Mall (SGM), Surakarta, Kamis (19/1/2017)/Fajar Sodiq

Kini kisah Wiji Thukul dan perjalanannya telah difilmkan. Martin mengaku terharu dengan upaya itu. Lelaki yang pernah menyelamatkan nyawa Wiji Thukul ini pun berharap banyak dari rekam sejarah itu.

Film ini harus bisa memandu gerakan perubahan sosial. Seperti pendekatan seni dan kebudayaan. Saya sangat senang Wiji difilmkan. Artinya sejarah tidak hilang begitu saja diterbangkan angin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya