Pemerintah Janji Situasi Segera Aman dan Nyaman

Kapolri (kiri) berbincang dengan SesKab Pramono Anung (kanan).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA.co.id – Pihak Istana melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengklaim, akan segera memberikan rasa aman kepada semua pihak. Termasuk para pegiat di dunia usaha. Reformasi hukum tahap kedua, akan dijadikan acuan untuk membuat rasa aman dan nyaman itu.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

"Pemerintah akan segera membuat rasa nyaman, rasa aman dan juga hal yang berkaitan dengan stabilitas politik," kata Pramono di Istana Negara, Jakarta, Selasa 17 Januari 2017.

Pramono menegaskan, saat ini situasi politik baik di parlemen maupun luar parlemen sudah sangat kondusif. Menurutnya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak mengalami hambatan dari sisi politik.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

Namun diakuinya, yang sedang berkembang saat ini adalah persoalan pemaksaan kehendak oleh pihak tertentu. Ia meyakinkan, hal itu akan ditindak tegas sehingga bisa memberi rasa aman bagi semua pihak. "Bahwa dalam alam demokrasi ada pihak yang katakanlah mau memaksakan kehendak, itu tidak bisa terjadi. Karena negara ini negara hukum, ada aturan mainnya, dan segala sesuatu diatur hukum," ujar politisi senior PDI Perjuangan itu.

Untuk itu, rapat kabinet terbatas siang ini yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, akan menjawab keinginan agar tercipta rasa aman dan nyaman.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

Pada tahap pertama, kata dia, pemerintah sudah memulai dengan Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Pungli). Maka kelanjutannya sekarang, akan dibahas lagi dalam rapat kabinet. "Berkaitan dengan apa yang terjadi terakhir ini tentu Presiden melalui Kapolri, Panglima TNI dan jajaran penegak hukum lainnya akan mengambil langkah tegas bagi siapapun yang katakanlah menganggu jalannya roda ekonomi bangsa ini. Kita tidak boleh disandera oleh siapapun," ujarnya menegaskan.

Sebagaimana diketahui, belakangan ini pemerintahan Jokowi-JK memang banyak menghadapi aksi-aksi massa yang digelar di pusat Ibu Kota Jakarta. Aksi Bela Islam yang digelar 4 November 2016 atau 411, dan aksi 2 Desember 2016 atau 212, bisa dianggap sebagai aksi massa dalam jumlah besar yang pernah ada di republik ini.

Massa menuntut agar Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok segera diproses hukum terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu, dianggap menistakan agama Islam. Massa mendesak Ahok segera diproses hukum dan ditahan. Polisi pun akhirnya memproses kasus Ahok, dan menetapkannya sebagai tersangka. Kasus Ahok kini tengah bergulir di persidangan.

Belum reda kasus Ahok, ormas FPI terlibat bentrok dengan massa Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) di Bandung pekan lalu. Bentrok terjadi usai pimpinan FPI Habib Rizieq Shibab menjalani pemeriksaan di kantor Polda Jawa Barat. Kedua massa yang beda kubu itu sama-sama saling mengawal jalannya pemeriksaan.

Buntut dari bentrok itu, kantor ormas GMBI di Bogor dirusak dan dibakar massa yang diduga simpatisan dari ormas FPI. Tak hanya Bogor, sekretariat GMBI di Ciamis dirusak orang tak dikenal.

Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charliyan yang kebetulan pembina ormas GMBI menuntut FPI bertanggungjawab atas kasus perusakan dan pembakaran markas ormas binaannya. Ia berjanji akan mengusut kasus tersebut hingga tuntas, dan menangkap otak di balik aksi kekerasan itu.

Sehari berikutnya, FPI yang dipimpin Habib Rizieq menggelar aksi demonstrasi di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan. Rizieq menuntut Kapolri agar mencopot Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan. Kapolda Jabar dituduh tidak profesional dan tebang pilih dalam mengusut kasus tersebut. Apalagi posisinya sebagai pembina ormas GMBI dinilai rentan terjadi konflik kepentingan dengan kasus yang juga ditangani Polda Jabar.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya