Nasib Ismail dan Si Tapal Kuda

Kepiting Tapal Kuda (Limilus polyphemus), hewan langka di hutan bakau Taman Nasional Sembilang Banyuasin Sumatera Selatan, Jumat (13/1/2017)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Aji YK

VIVA.co.id – Matahari belum terbit di ufuk timur ketika Ismail menaiki perahu tuanya. Jaring, pancing, air minum dan rantang berisi nasi menjadi bekal bapak enam anak ini membelah Sungai Sembilang Banyuasin Sumatera Selatan menuju laut.

Gelap Mata, Pencari Kepiting Bunuh Temannya Gara-gara Rebutan Wilayah

"Sampai ke tengah (laut) jam 6. Kalau sudah terang, nanti ikannya sudah sedikit," kata lelaki berusia lebih dari setengah abad itu didampingi putra keempatnya Arpani, Jumat, 13 Januari 2017.

Tahun ini, genap 14 tahun sudah Ismail melaut. Selama itu juga perahunya tak kunjung berganti. Penghasilannya yang tak tentu tak mampu untuk membeli perahu baru. Alhasil tambal sulam di mana-mana untuk mengantisipasi kebocoran di badan perahu getek berwarna hijau terang tersebut.

Dukung Target Produksi KKP, Produsen Seafood Aruna Siap Perluas Pasar hingga Varian Produk

"Kalau beli baru mahal sekarang. Dulu saja beli kredit," ujar Ismail menjelaskan kondisi perahu bututnya.

Sehari-hari, Ismail memang memulai aktivitasnya sejak pukul 05.00. Biasanya, kegiatan itu akan berakhir tepat pukul 12.00, ketika terik matahari sudah menghujam kepala.

Somalia: dari Nelayan Menjadi Bajak Laut, Kisah Pilu di Lautan Anarki

Berapa pun ikan yang terkumpul, biasanya akan dibawa Ismail ke pengepul dan kemudian ditukarkan dengan uang. Dan tentunya, uang itu tak selalu cukup.

Karena itu, Ismail kemudian kembali melipir pinggiran Sungai Sembilang. Buruan petang inilah yang lebih menjanjikan bagi Ismail dan anaknya atau setidaknya tangkapan ini akan menjadi penutup kurangnya uang hasil berburu ikan sejak subuh tadi.

Ismail pun kemudian merogoh perlengkapan jaringnya. Perlahan dari badan kapal usang itu, Ismail mengeluarkan tali nilon yang sudah dirajut. Masing-masing bidak jaring memiliki lebar setidaknya 7 inchi dan tentunya dengan bentang jaring yang luar biasa. Bagaimana tidak, milik Ismail saja diakuinya mencapai 500 meter.

Bisa dibayangkan bagaimana jaring ini membentang lebar di Sungai Sembilang yang dibentengi oleh Mangrove.

Pemburu kepiting Tapal Kuda di Taman Nasional Sembilang

FOTO: Arpani, putra Ismail mengeluarkan jaring Kepiting Tapal Kuda di perairan Sungai Sembilang Banyuasin Sumatera Selatan, Jumat (13/1/2017)/Aji YK

Ya, itulah jaring penangkap Bungkak atau Kepiting Tapal Kuda (Limilus polyphemus). Hewan yang hidup di air payau ini, sejak lama memang sudah menjadi buruan warga. Maklum harganya memang relatif menjanjikan ketimbang ikan yang biasa dijaring.

"Yang mati dijual borongan. Banyak untuk memancing. Yang hidup, perekornya Rp15 ribu tapi harus ada telur," kata Ismail. Dalam sehari, lelaki ini mampu memgumpulkan sedikitnya 50 ekor Bungkak.

Ketidaktahuan
Sejatinya, Bungkak atau kepiting Tapal Kuda (Horse Shoe Crab) adalah hewan yang dilindungi. Masifnya perburuan dan penyelundupan hewan purba ini, menjadi masalah pelik yang dihadapi pemerintah.

Konon, Bungkak atau yang juga kadang dikenal dengan sebutan Belangkas memang sudah populer di Eropa, dan beberapa negara lain. Hewan berbentuk ladam ini menjadi salah satu jenis yang biasa digunakan untuk kepentingan pengobatan.

Selain itu, tentunya daging kepiting tapal kuda memang tak bisa diragukan kelezatannya. Asam pedas dan sambal tumis dari telur dan daging Belangkas bahkan sudah menjadi menu favorit bagi warga di Johor Malaysia.

Ismail pun mengakui kepiting Tapal Kuda, bukan untuk dipasarkan di dalam negeri. Sebab, pemasaran Bungkak di Indonesia memang tidak menjanjikan. Bahkan bagi nelayan, kepiting purba ini cuma digunakan untuk umpan pancing.

Karena itu, ia pun tak mengetahui jika kepiting itu dilindungi. Baginya, saat ini, kepiting umpan pancing itu kini laku dan ada yang mau menerimanya. Soal dilindungi atau tidak, lain urusan.

Penggunaan kepiting tapal kuda untuk medis

FOTO: Penggunaan kepiting tapal kuda atau Belangkas untuk keperluan pengujian medis

"Pengepul jual ke luar. Kalau di sini tidak laku, hanya untuk umpan mancing saja. Bungkak yang mati dijual Rp20 ribu satu box," katanya.

Sejauh ini, upaya edukasi kepada warga bahwa penangkapan Kepiting Bungkak, masih terus dioptimalkan. Ketidaktahuan warga menjadi ancaman nyata bahwa binatang yang dikategorikan purba itu bisa terancam punah.

"Memang di Taman Nasional Sembilang ini, masih ada perburuan liar dan alih fungsi lahan. Makanya kita akan lakukan sosialisasi ke masyarakat dan menjadi mediator," kata Hari Priyadi publik, sektor manager Zoological Society of London (ZSL).

Ya, perlu upaya serius mencegah ancaman kepunahan Kepiting Tapal Kuda. Jalan hidup warga seperti yang dialami Ismail yang dibelit kemiskinan, bisa menjadi pemicu meluasnya praktik penangkapan kepiting langka tersebut.

Di ujung hari, matahari yang merangkak turun di ufuk barat, mengantarkan Ismail kembali ke rumahnya. Hari itu, kepiting Bungkak yang dilindungi, terlanjur menjadi uang untuk melawan kemiskinan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya