Yusril: Fatwa MUI Soal Natal Sudah Sewajarnya

Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA.co.id – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berharap tidak ada pemaksaan bagi pekerja Muslim untuk mengenakan atribut Natal. Pemasangan ornamen dan pemutaran lagu Natal di toko, supermarket dan mal dianggap sudah lebih dari cukup.

MUI: Tetangga Banyak Kena COVID-19, Salat Jumat Boleh Diganti Zuhur

"Supermarket dan shopping mall telah cukup banyak memasang ornamen natal termasuk memutar kaset lagu-lagu natal. Menurut hemat saya hal itu sudah lebih daripada cukup untuk menyemarakkan Natal bagi umat Kristen. Umat Islam tidak pernah mempersoalkan hal itu," kata Yusril dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Sabtu, 24 Desember 2016.

Karena itu, bila ada pengusaha yang mewajibkan pekerja toko menggunakan atribut natal, padahal mereka bukan beragama Kristen, Yusril menganggap itu sebagai sesuatu yang berlebihan.

Fatwa MUI Sebut Mata Uang Kripto Haram, Mengapa Jadi Kontroversi?

"Kita harus menghormati keyakinan agama masing-masing dan tidak perlu membuat hal-hal yang dapat membuat sesuatu yang kurang enak di hati penganut agama yang lain," katanya.

Karena itu, Yusril berpendapat bahwa fatwa MUI itu adalah sewajarnya, patut dihormati oleh semua pihak dan tidak perlu pula ditafsirkan secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidakenakan pula kepada pihak-pihak di luar umat Islam.

5 Hal Seputar Ahmad Zain An Najah, Anggota MUI yang Ditangkap Densus

Hukum Islam adalah The Living Law

Yusril juga menjelaskan mengenai hukum Islam adalah the living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, bukan ius constitutum dan bukan pula ius constituendum. Hukum positif adalah hukum yang diformulasikan oleh institusi negara dan tegas kapan dinyatakan berlaku dan kapan tidak berlaku lagi. Tapi The living law tidak diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat.

Ia berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan kadang-kadang daya pengaruhnya bahkan mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh negara. Hukum yang hidup itu bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat.

Salah satu instrumen yang membuatnya tetap dinamis adalah antara lain melalui fatwa yang dikeluarkan oleh mufti atau institusi lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat.

"Fatwa umumnya dikeluarkan untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang merasa ada ketidakjelasan terhadap sesuatu yang ada dan berkembang dalam  dilihat dari sudut hukum Islam, supaya ada kepastian hukum," katanya.

Lalu, apakah dan bagaimanakah sebaiknya negara bersikap terhadap hukum yang hidup itu? Menurut Yusril, jika negara itu bersifat demokratis, maka akan memformulasikan hukum dengan mengangkat kesadaran hukum masyarakat menjadi hukum positif sesuai kebutuhan hukum masyarakat.

Namun seandainya itu tidak atau belum dilakukan, maka negara harus menghormati hukum yang hidup yang antara lain tercermin dalam fatwa-fatwa yang otoritatif tersebut dan memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat terlaksana dengan baik dalam kehidupan masyarakat.

"Saya berpendapat inilah yang harusnya menjadi sikap negara di negara kita ini yang berdasarkan Pancasila. Negara tidak bersifat sekular dan indeferent terhadap hukum agama, melainkan menghormati dan memberikan tempat yang selayaknya dalam kehidupan masyarakat," katanya.

Ditambahkan Yusril, jika hukum yang hidup itu berkaitan langsung dengan tata peribadatan (khassah) maka negara tidak dapat mengintervensinya, melainkan menghormatinya dan memfasilitasi pelaksanaannya dengan memperhatikan kemajemukan masyarakat.

Terhadap fatwa melarang orang Islam untuk menggunakan atribut yang dianggap sebagai 'atribut natal' dan mengimbau kepada pengusaha non Muslim agar tidak memaksakan mengenakan atribut natal tersebut, Yusril menganggap hal itu adalah wajar dan sesuai dengan fungsi Majelis Ulama yang antara lain berkewajiban untuk mengeluarkan fatwa terhadap sesuatu yang meragukan dan diperlukan adanya kepastian hukum dilihat dari sudut hukum Islam sebagai the living law.

"Menyikapi fatwa yang demikian itu, adalah bijak jika negara yg berdasarkan Pancasila ini mengimbau agar setiap orang menghormati fatwa tersebut dan mengajak pengusaha non Muslim secara persuasif agar menghormati fatwa Majelis Ulama tersebut demi menghargai keyakinan keagamaan orang yang beragama Islam," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya