Usut Oknum TNI di Kasus Bakamla, KPK-Puspom Bisa Kerja Sama

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan hasil operasi tangkap tangan dalam kasus korupsi proyek Bakamla.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Dalam proses penyidikan kasus dugaan suap terkait proyek pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan empat tersangka.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Mereka adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.

Namun seiring perkembangan kasus, KPK menemukan indikasi adanya keterlibatan oknum Bakamla yang berasal dari TNI. Karena itu, dalam beberapa hari terakhir, pimpinan KPK dan Puspom TNI intens duduk bersama membahas kasus ini.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Pakar Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji menyarankan, kedua institusi menjalin kerja sama penyidikan. Menurut Anto, demikian mantan pimpinan KPK ini akrab disapa, untuk mengusut kasus ini secara tuntas dan transparan, KPK dan Puspom TNI harus berjalan seiring. Sebab, dalam penanganan kasus yang berhubungan dengan pihak yang masuk dalam peradilan militer dan peradilan umum, bisa dilakukan melalui skema koneksitas. 

"Sepanjang ada keterlibatan TNI maka regulasi berbasis kejahatan koneksitas ini yang harus dilakukan KPK dan TNI. Dapat dilakukan join investigation di antara kedua lembaga itu. Sehingga bisa terungkap secara transparan tindak pidana korupsi di Bakamla. Apalagi bila ada dugaan pemberian suap, gratifikasi ataupun penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara," kata Indriyanto di Jakarta, Jumat, 23 Desember 2016. 

KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim

Lewat skema itu, penyidikan terhadap orang yang tunduk dalam peradilan militer menjadi wewenang Puspom TNI. Sementara mereka yang tunduk dalam peradilan umum ditangani KPK. Tapi di pengadilan nanti, hakim yang menangani perkara tersebut berasal dari unsur militer dan umum. 

"Sistem penyidikan diberikan pada otoritas masing-masing artinya keterlibatan TNI menjadi wewenang TNI. Hanya saja penanganan kasus ini di peradilan menjadi wewenang penuh peradilan koneksitas yang biasanya terdiri dari mix judges, kalau memang sudah ditentukan adanya TNI yang terlibat dan distatuskan sebagai tersangka," ujarnya menambahkan.

Penanganan kasus secara koneksitas tersebut, diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam aturan itu disebutkan, KPK berwenang mengkoordinasi dan mengendalikan penyelidikan hingga penuntutan para oknum yang tunduk pada peradilan militer dan umum. 

Namun, Indriyanto mengingatkan aturan itu tidak dapat diartikan KPK lantas menjadi koordinatornya, karena Undang-Undang Peradilan Militer pun memiliki persepsi kesetaraan. "Tidak diartikan total absolut sebagai koordinator karena UU Peradilan Militer memberikan persepsi kesetaraan dalam distincsi proses peradilan militer.”

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya