Naskah Revisi KUHP Ancam Kebebasan Pers

Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Komisi III DPR saat ini tengah membahas naskah Revisi KUHP. Sebagai bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP , LBH Pers mengkritisi pasal contempt of court, yaitu Pasal  328 dan 329 Revisi KUHP.

Suami Paksa Istri Hubungan Intim Kena Pidana, Apa Itu Marital Rape?

Menurut LBH Pers, kedua pasal ini berpotensi melanggar kemerdekaan pers. Untuk itu, mereka melihat pengaturan secara khusus mengenai contempt of court tak diperlukan.

“Hal ini disebabkan karena sistem peradilan di Indonesia yang menganut sistem non adversarial model, tidak memungkinkan untuk adanya pranata contempt of court,” jelas anggota LBH Pers, Asep Komaruddin, dalam rilis yang diterima VIVA.co.id, Minggu, 27 November 2016.

RUU KUHP: Memaksa Istri Berhubungan Badan, Suami Bisa Dibui 12 Tahun

Hal ini karena pada sistem peradilan yang dianut Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar, dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan.

“Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya,” ungkapnya.

Wamenkumham Klaim Revisi KUHP untuk Atasi Over Kapasitas Lapas

LBH Pers dan aliansi menilai, kondisi ini akan berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam contempt of court berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.

Selain dua pasal yang sedang dibahas di DPR ini, beberapa pasal lain di Revisi KUHP juga berpotensi melanggar kebebasan berekspresi. Seperti pasal 284 tentang penghinaan terhadap pemerintahan, Pasal 290 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum, Pasal 302 tentang penyadapan, Pasal 309 tentang penyiaran berita bohong dan berita yang tak pasti.

LBH Pers dan aliansi meminta agar DPR serta pemerintah tak hanya memandang isu unsur yang tidak jelas dalam rumusan pasal, tapi harus memastikan rumusan yang berkepastian hukum.

“Lebih dari itu, kami meminta agar pemerintah, khususnya DPR mempertimbangkan ulang ketentuan-ketentuan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berekspresi dan kemerdekaan pers,” pinta Asep.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya