Haedar Minta Polisi Tak Kembangkan Tafsir Soal Kasus Ahok

Presiden Jokowi dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA.co.id – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta, seluruh umat Islam di Indonesia untuk mengawal kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Namun, masyarakat diminta tetap menciptakan suasana kondusif.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Pernyataan ini disampiakan Haedar Nashir setelah menerima kunjungan Presiden Jokowi di kantor PP Muhammadiyah, Selasa siang, 8 November 2016. PP Muhammadiyah menyampaikan penghargaan kepada Presiden Jokowi atas kemomitmennya yang diwujudkan dalam perintah kepada pihak Kepolisian untuk mengusut, memproses hukum kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.

Karena itu, PP Muhammadiyah berharap Kepolisian tidak perlu mengembangkan tafsir-tafsir yang bisa menambah keraguan atau menimbulkan eskalasi baru mengenai pengusutan kasus ini. "Ikuti apa yang sudah menjadi garis dari Presiden, usut kasus secara tuntas, dengan tegas, cepat dan transparan," katanya menambahkan.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

Selain itu, aspirasi umat Islam yang muncul pada tanggal 4 November kemarin, adalah aspirasi yang mewakili denyut nadi perasaan keagamaan seluruh umat Islam, tanpa ada klaim golongan atau kelompok.

"Dan kami juga yakin bahwa, biarpun di ujung demo yang damai itu ada sedikit kericuhan atau kerusuhan itu justru tidak sejalan dengan spirit pendemo dan kami yakin bahwa itu ada hal-hal yang memancing di air keruh. Tetapi secara umum baik pendemo maupun pihak keamanan telah melewati fase ini," katanya.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

Haedar berharap, seluruh rakyat dan komponen bangsa, termasuk media massa pasca 4 november ini menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk mengawal kasus ini agar betul-betul sesuai dengan rasa keadilan dan aspirasi umat Islam yang merasa, rasa jiwa keagaamannya terganggu.

Sebelumnya saat di Istana Negara pada Sabtu, 5 November 2016, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyampaikan kalau kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok sangat berbeda dengan kasus-kasus lain. Karena itu, proses hukum tidak bisa dilakukan dengan cepat. Tito saat itu menyampaikan, kalau masalah ini karena hilangnya kata 'pakai'. Dan ini menimbulkan arti yang berbeda.

“Bahasanya kan ‘jangan percaya kepada orang, bapak ibu punya pilihan batin sendiri, tidak memilih saya. Dibohongi ‘pakai’, ada kata pakai. Itu penting sekali. Karena beda ‘dibohongin Al Maidah 51’ dengan ‘dibohongin pakai Al Maidah 51’,” kata Tito.

Kemudian, Tito kembali menjelaskan pentingnya keberadaan kata ‘pakai’. Jika dibohongin Al Maidah 51 berarti yang berbohong itu ayatnya. Tapi bila ada kata ‘pakai’ maka yang berbohong adalah orangnya yang menggunakan ayat.

“Sedang kita minta keterangan kepada saksi ahli bahasa. Kami hanya menerima dan nantinya menyimpulkan dari ahli-ahli ini,” katanya.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya