Qanun Jinayat Dinilai Langgar Konstitusi

Warga Aceh yang melanggar saat dihukum cambuk dengan rotan. (Ilustrasi)
Sumber :
  • REUTERS/Junaidi Hanafiah

VIVA.co.id – Satu tahun sudah hukum kriminal atau qanun jinayat di Aceh berlangsung. Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menilai, implementasi hukum ini menyimpang.

Digerebek Lagi Mesum di Kamar Kos, Pasangan Sejoli di Aceh Dicambuk

Hukuman dalam qanun jinayat bersifat pidana, yang mencakup hukum cambuk. Kebijakan yang diklaim untuk menerapkan syariat Islam ini, tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Qanun ini mengatur berbagai perilaku kriminal yang tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seperti khalwat (berduaan dalam satu tempat tertutup bersama orang berbeda kelamin di luar ikatan nikah), ikhtilath (mesum), khamar (alkohol), maisir (judi), zina, musahaqqah, dan liwath (sodomi).

Pejabat Mesum Bebas, Senator Aceh: Penegakan Syariat Jangan Main-main

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menilai hukum tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di Indonesia, seperti Undang-Undang Dasar 1945, KUHP, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Hak Sipil dan Politik, serta Undang-Undang Anti Penyiksaan.

Sehingga, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Nia Syarifudin mengatakan bahwa Perda Aceh ini tidak berintegrasi pada kesatuan berbangsa dan bernegara. "Yang menjadi syariat Islam di Aceh tidak sesuai spirit Indonesia yang beragam, ada konstitusi yang menjadi rujukan bersama," ujar Nia di kantor YLBHI Jakarta Minggu, 23 Oktober 2016.

Hisap Darah Orang Miskin, Rentenir Bakal Dicambuk di Aceh

Qanun jinayat juga diklaim diskriminatif gender, karena kecenderungan saat perempuan menjadi korban, tak diatur perlindungan yang layak.

"Kasus perkosaan diminta alat bukti di awal, dimana kecenderungan perempuan sebagai korban. Tapi, pelakuknya hanya dengan lima kali sumpah dapat diloloskan. Korban yang telah mengalami kekerasan justru mengalami kekerasan berlapis dan ketidakadilan karena dikucilkan masyarakat," ucap Koodinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura, pada kesempatan yang sama.

Selain itu, pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk dilakukan terbuka dihadapan publik, sehingga akan menimbulkan rasa trauma, label negatif, sehingga berdampak pada pengucilan dan marginalisasi perempuan.

Nisaa pun menyoroti proses persidangan yang dilangsungkan secara tertutup, dan terkesan tidak transparan. "Proses persidangan susah diakses. Ada enggak pendampingan hukum, ada enggak mekanisme kasasi, banding, kita enggak dapat tahu," jelasnya.

Menurutnya, tertutupnya proses pengadilan sangat berpotensi terhadap viktimisasi kasus perkosaan, bahkan korban juga berpotensi dilaporkan balik.

Pada 2015, Solidaritas Perempuan mensurvei 2.386 perempuan di wilayah Aceh yang meliputi Imarah, Leupung, Lhoknga, dan Peukan Bada. Sebanyak 1.161 perempuan mengaku tak mendapatkan sosialisasi mengenai pembentukan qanun jinayat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya