Musabab Kisruh Kerajaan Gowa

Petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan api saat kebakaran di kantor DPRD Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (26/9/2016).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

VIVA.co.id – Kelompok keturunan Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan 'mengamuk' sehingga membuat kekisruhan, Senin, 26 September 2016. Gedung DPRD setempat dibakar dan kantor pemerintahan pun diserang. Kemarahan ini telah menjadi puncak kekesalan atas ulah bupati yang mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Gowa.

Raja Gowa Meninggal Dunia

"(Mereka) Merampas hak keturunan raja yang sudah turun temurun," kata juru bicara keluarga Kerajaan Gowa, Andi Hasanuddin.

Sejak lampau, Kerajaan Gowa sudah terkenal di Sulawesi Selatan. Raja paling terkenalnya adalah Sultan Hasanuddin yang memimpin perang melawan penjajah pada abad 16-an. Dahulu, di Kerajaan Gowa tampuk kepemimpinan dipegang oleh Sombayya atau raja dari raja.

Besarnya Potensi Korupsi Kehutanan, AMAN Datangi KPK

Sombayya pertama adalah Tumanurung yang ada pada tahun 1.300-an. Sepeninggal Sombayya Tumanurung, tampuk kepemimpinan pun diwariskan turun temurun ke keluarga. Dan terakhir, pada tahun 2014, Sombayya dipegang oleh I Kumala Andi Idjo Sultan Kumala Idjo Batara Gowa III Daeng Sila Karaeng Lembang Parang atau Raja ke-36.

Konon, pada masa Raja ke-36 inilah, Andi Idjo menyebut bahwa Kesultanan Gowa akan bergabung menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, lantaran Gowa menjadi kabupaten dan Andi Idjo menjadi bupati pertama di Gowa.

1 Juta Masyarakat Adat Terancam Tak Bisa Memilih di Pemilu

Dasar inilah yang kemudian dijadikan rujukan Bupati Gowa Adnan Purichta membentuk Lembaga Adat Daerah yang kemudian disahkan pada Senin, 15 Agustus 2016. Dan salah satu poin dalam peraturan itu adalah Bupati Gowa juga berperan sebagai raja atau Sombayya sebagai pengganti raja terakhir ke-36 di silsilah Kerajaan Gowa.

"Siapa pun bupati di Gowa, maka dia sama dengan Raja Gowa di zaman kerajaan. Itu yang mendasari Andi Idjo saat menyatakan bergabung dengan NKRI diangkat sebagai Bupati Gowa pertama. Makanya Perda LAD mengatur struktur, bahwa Bupati sebagai ketua LAD yang menjalankan fungsi Sombayya. Sekali lagi hanya menjalankan fungsi sebagai Sombayya," kata Adnan.

Adnan pun mengklaim, bila selama ini telah terjadi kesalahan penafsiran terkait pengangkatan Raja Gowa berdasarkan garis keturunan. Musababnya, kata Adnan, zaman dahulu di Gowa memiliki sistem yang berbeda. Pengangkatan Raja Gowa kala itu justru berasal dari persetujuan Batesalapang atau perwakilan masyarakat di wilayah yang di bawah kekuasaaan Raja Gowa.

"Gowa berbeda. Pengangkatan raja di zamannya dipilih oleh Batesalapang atau perwakilan masyarakat dari wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa, yang di zaman sekarang dikenal dengan nama DPRD, bukan diangkat oleh orang tuanya berdasarkan garis keturunan," kata Adnan.

Mengaburkan sejarah
 

Namun demikian. Dalih Bupati Gowa tersebut tetap tak bisa diterima oleh para keturunan raja Gowa. Sebabnya, kelompok ini meyakini bahwa raja Gowa sejak lampau memang sudah berdasarkan garis keturunan.

Atas itu, penunjukan orang yang bukan keturunan menyalahi ketentuan dan istiadat yang dipegang Kerajaan Gowa selama berabad-abad.

"Perda itu meresahkan masyarakat, karena dinilai dapat merusak tatanan budaya. Bahkan merampas hak keturunan raja yang sudah turun temurun," kata perwakilan turunan kerajaan Gowa Andi Hasanuddin.

Andi menyebut, jika sampai saat ini masih ada keturunan raja Gowa ke-37 yakni, Andi Maddusila A Idjo yang merupakan keturunan langsung dari raja sebelumnya Andi Idjo Karaeng Lalolang, atau raja Gowa ke-36 yang menjadi Bupati pertama di Gowa.

"Sah-sah saja Perda LAD itu itu disahkan asalkan jangan bupati mau jadi raja karena dia bukan keturunan raja, jelas ini akan mengaburkan sejarah Kerajaan Gowa, kesannya mereka hanya ingin merombak tatanan kerajaan yang selama ini sudah tertata rapi," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya