Hakim Perintahkan KPK Usut Pimpinan Komisi V DPR

Ketua Komisi V DPR, Fary Djemi Francis, usai diperiksa KPK.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Edwin Firdaus

VIVA.co.id – Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menetapkan, "rapat setengah kamar" antara pimpinan dan kelompok fraksi di Komisi V DPR RI bersama petinggi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebagai fakta hukum perkara suap penyaluran program aspirasi Komisi V untuk proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara.  

Tingkat Kepuasan Bupati Sidoarjo Rendah, Elektabilitas BHS Meningkat

Fakta hukum tersebut tertuang dalam putusan terdakwa anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti yang dibacakan Senin, 26 September 2016, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat. Dengan penetapan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengusut kasus ini diperintahkan untuk mengusut kasus tersebut.

"Majelis menetapkan kesepakatan yang dibahas dalam rapat tertutup dan atau rapat setengah kamar di ruang sekretariat Komisi V DPR sebagai fakta hukum," kata Hakim Sigit Herman Binaji saat membacakan putusan Damayanti.

Terkuak Alasan Muncul Wacana SIM dan STNK Dikelola Kemenhub

Damayanti sendiri ditetapkan majelis hakim sebagai justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus ini.

Dalam persidangan, Damayanti pernah membeberkan bahwa pimpinan Komisi V DPR mengancam tidak akan menandatangi RAPBN yang diajukan Kemen PUPR jika tidak menampung permintaan Komisi V DPR terkait usulan aspirasi Rp10 triliun.

Komisi V DPR Minta Kasus Penyelundupan di Garuda Diproses Hukum

"Pimpinan tidak mau melanjutkan rapat dengar pendapat dengan Kementerian (PUPR)," kata Damayanti saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.

Karena itu, kata Damayanti, terjadilah kesepakatan antara pimpinan Komisi V DPR dan pejabat Kementerian PUPR.  Rapat itu hanya dihadiri Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra, Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V DPR Fraksi Demokrat, Michael Wattimena, Wakil Ketua dari Fraksi PDIP, Lasarus, Wakil Ketua Fraksi PKS, Yudi Widiana dan Wakil Ketua Fraksi Golkar, Muhidin Mohamad Said.

Sementara Kepoksinya yakni dari Fraksi Hanura, Fauzi H Amro, dari Fraksi PKB, Muza Zainuddin, dari Fraksi PAN, Andi Taufan Tiro dan dari PDIP Yoseph Umar Hadi, serta pejabat eselon I Kementerian PUPR, yang salah satunya yakni Sekjen Kemenpupera Taufik Widjojono.

Damayanti menjelaskan, awalnya pimpinan dan Kapoksi meminta kompensasi fee Rp10 triliun. Hal itu dikarenakan Kemen PUPR mendapatkan anggaran Rp100 triliun.

Tapi Kemen PUPR tidak menyetujui angka Rp10 triliun itu, sehingga diturunkan menjadi Rp7 triliun, kemudian turun lagi menyentuh Rp5 triliun. Hingga akhirnya disepakati Rp2,5 triliun di pos Ditjen Bina Marga Kemen PUPR.

Dalam pertemuan tertutup tersebut, juga ditentukan fee atau kompensasi yang akan diperoleh setiap anggota Komisi V.

Selain itu, disepakati bahwa setiap anggota memiliki jatah aspirasi Rp50 miliar, Kapoksi memiliki jatah Rp100 miliar, sementara pimpinan Komisi V mendapat jatah hingga Rp50 miliar. Damayanti mengatakan, setiap anggota Komisi V mendapat jatah proyek, nilainya ditentukan pimpinan komisi dan Kapoksi.

Dalam kasus ini, KPK pun telah menjerat anggota Komisi V DPR RI, Budi Suprianto dan Andi Taufan Tiro.

Usai sidang putusan, kepada awak media, Damayanti kembali menegaskan akan merincikan siapa saja yang terlibat kasus ini kepada penyidik KPK. Terutama dugaan ketelibatan para koleganya di Komisi V DPR. Hal itu, kata damayanti, merupakan sebuah konsekuensi atas statu JC yang disematkan kepadanya.

"Konsekuensinya saya akan membantu KPK, jadi saya harus kooperatif," ujarnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya