KPK Telisik Restu ESDM atas Izin Tambang Ilegal Nur Alam

Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA.co.id – Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono, merampungkan pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat sore, 16 September 2016. 

Mardani Maming Baru Setor Rp10 M dari Total Uang Pengganti Rp110,6 Miliar

Bambang diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi untuk berkas penyidikan korupsi pemberian izin usaha pertambangan kepada PT Anugrah Harisma Barakah dengan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, mengatakan Bambang diperiksa penyidik mengenai kebijakan Kementerian ESDM, terkait izin pertambangan yang dikeluarkan Nur Alam untuk PT Anugrah Harisma Barakah di Kabupaten Bombana dan Buton. 

KPK menduga Ditjen Minerba melakukan pembiaran atas pemberian IUP oleh Nur Alam, dengan mengeluarkan sertifikat clear and clean untuk perusahaan itu. Padahal, lahan tambang nikel seluas 3.084 hektare yang diberikan kepada PT Anugrah Harisma Barakah, sebagiannya masih status sengketa dengan PT Prima Nusa Sentosa selaku pemegang izin lahan tambang seluas 1.999 ha di Kabupaten Bombana.  

"Jadi pemeriksaannya seputar itu. Mengenai kebijakan Kementerian ESDM atas izin pertambangan yang dikeluarkan (Nur Alam) di daerah," kata Yuyuk di kantornya, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Perjalanan Kasus Korupsi PT Antam Rp92 Miliar yang Menyeret Eks Dirut

Saat dikonfirmasi kepada Bambang usai pemeriksaan, dia tak mau menjawab secara rinci dan berdalih telah menjelaskannya pada penyidik KPK dalam pemeriksaan selama lima jam tadi. 

"Saya hanya dimintai keterangan, soal penerbitan izin (tambang yang dikeluarkan Nur Alam)," kata Gatot seraya menerobos barisan wartawan yang menanyakannya. 

Korupsi Rp5,8 Triliun, Bupati Kotim Resmi Jadi Tersangka KPK

Saat dicecar mengenai dugaan pembiaran Ditjen Minerba terhadap kebijakan Nur Alam itu, Bambang enggan menanggapi. "Saya sudah jelaskan ke KPK. Silakan tanya ke KPK saja," ujar Bambang sambil masuk ke mobilnya. 

Untuk diketahui, Bambang hari ini diperiksa sebagai saksi untuk Nur Alam. Dia diperiksa bersama dengan karyawan PT Billy Indonesia, Suharto Martosuroyo.

Kasus ini pertama kali mencuat ke publik pasca Nur Alam menerbitkan Surat Keputusan nomor 828 tahun 2008 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan pada PT Anugrah Harisma Barakah seluas 3.084 hektar di atas lahan tambang milik PT Prima Nusa Sentosa.

SK yang dikeluarkan itu kemudian ditingkatkan lagi dengan menerbitkan SK Nomor 815 tahun 2009 tentang izin usaha pertambangan eksplorasi milik PT AHB, serta ditingkatkan lagi statusnya melalui SK Gubernur Nomor 435 tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Eksploitasi di lahan yang sama.

Kasus ini pun sempat digugat PT. Prima Nusa Sentosa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Nur Alam kalah dua kali. Hal ini sesuai putusan PT TUN Kendari yang disidangkan tanggal 30 Mei 2011 dengan Nomor 33/G.TUN/2010/PT-Kdi dan putusan pada  PT TUN Makassar dalam perkara banding bernomor 106/B.TUN/2011/PT TUN MKS tanggal 29 September 2011 sekaligus menguatkan putusan PT TUN Kendari.

PT TUN Makassar menilai Nur Alam dalam menerbitkan izin yang menjadi obyek sengketa, terbukti prosedural formal dan subtansi materiil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Putusan PTUN Makasar yang menguatkan putusan PTUN Kendari sekaligus menegaskan PT Prima Nusa Sentosa berhak secara hukum melakukan penambangan di Kecamatan Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan, Bombana, selama 20 tahun. Anehnya, aktivitas penambangan tetap dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah saat itu. Saat itu, bahkan Dirjen Minerba yang kala itu dijabat Thamrin Sihite, menerbitkan sertifikat clear and clean untuk perusahaan itu.

Masuk di 2016, KPK menyelidi kasus Nur Alam dan menemukan bukti permulaan yang cukup. Alhasil, pada 23 Agustus 2016, KPK mengumumkan mantan Ketua DPW Partai Amanat Nasional itu menjadi tersangka karena diduga menyalahgunaan wewenang menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi.

Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah, selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

"Diduga, penerbitan SK dan izin tidak sesuai aturan yang berlaku, dan ada kick back yang diterima Gubernur Sultra (Nur Alam)," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, pada Selasa, 23 Agustus 2016.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya