Danarto dan Pengaruh Sufisme

Freedom Institute didukung oleh Bakrie Untuk Negeri memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2009 kepada lima anak bangsa berprestasi karena ketekunan dan sumbangan luar biasa bagi masing-masing bidang.

Kemenhub Pastikan Mudik 2024 Lancar, Intip Daerah Tujuan Terbanyak hingga Angkutan Terfavorit

Mereka adalah Sajogyo bidang pemikiran social, Ag Soemantri bidang kedokteran, Pantur Silaban bidang Sains, Warsito P Taruna bidang teknologi, dan Danarto bidang kesustraan. Berikut profil Danarto, pemenang bidang kesustraan.


Danarto telah memperluas pengertian realisme dalam sastra Indonesia. Jika realisme adalah potret dunia nyata sehari-hari, yang mengandung hukum sosial yang mendukung ke arah masyarakat yang lebih baik, maka Danarto, dengan berbagai cerita pendeknya, menunjukkan warisan masa lalu yang senantiasa memiuhkan atau mengganggu hukum sosial itu. Realisme di tangan Danarto, selalu mengandung unsur fantastik, yakni sesuatu yang tidak tertangkap oleh nalar dan ilmu.

Sesungguhnya Danarto menghidupkan kembali gaya mendongeng dalam sastra modern. Dalam fiksi modern, pengarang menciptakan semacam desain yang memungkinkan psikologi tokoh berkembang sesuai dengan tujuan cerita; dengan kata lain, pengarang mengendalikan cerita. Dalam fiksi Danarto, tokoh seakan bergerak sendiri, dan menciptakan arah cerita sendiri. Dengan begitu, akhir cerita tak teramalkan. Atau penghujung cerita selalu terbuka, seperti jeda.

Melalui Danarto, kita bisa mengancang sastra absurd yang khas Indonesia. Di Eropa, sastra absurd adalah kejengahan akan realisme dan rasionalisme. Sedangkan cerita pendek Danarto mencerminkan betapa masyarakat kita, yang dicerminkan oleh tokoh-tokoh cerita pendeknya, menjalani apa yang dalam bahasa Jawa disebut mulur-mungkret, yaitu silih berganti menjauhi dan mendekati modernitas. Absurditas sastra Eropa bersifat kelam, serius dan negatif, sedangkan absurditas Danarto berwarna-warni, penuh kelakar dan positif.

Katasifat “pendek” dalam cerita pendek Danarto mendapatkan makna baru. Dengan membiarkan tokoh dan cerita bergerak sendiri, berimprovisasi, bagaimanapun juga si pengarang berhasil menjaga tempo dan irama, dan mengakhiri cerita dengan jitu. Kisah tidak berlarat-larat, meski peristiwa dan laku melesat ke sana-ke mari, karena tegangan terpelihara dengan baik, tegangan yang membimbing pembaca ke arah simpulan yang harus dibuatnya sendiri.

Dalam kumpulan cerita pendeknya Godlob (1974) Danarto mengambil begitu saja tokoh-tokoh dari khazanah lama baik tulisan maupun lisan—misalnya Abimanyu, Salome, Ahasveros, Hamlet, Rintrik, Bekakrakan—dan mendamparkan mereka pada latar peristiwa yang lain, yang baru. Bersama dengan itu ia “mengangkat” pula benda, tanaman, dan tumbuhan sebagai tokoh-tokoh sekunder. Semua ini memperlihatkan bahwa Danarto sangat terbuka dalam mengolah berbagai sumber penciptaan di satu pihak, tetapi juga sangat bersifat Jawa, njawani, di lain pihak.

Tentu saja, tak berarti bahwa penulis kelahiran Sragen, Jawa Tengah, ini hendak menegaskan identitas Jawa, apalagi mengajukan pembelaan akan budaya Jawa. Pengadeganan Danarto kiranya bisa muncul, baik disadari atau tidak oleh penulisnya sendiri, dari relief candi kuna di Pulau Jawa, jejer wayang kulit, atau khazanah teater rakyat, namun pengadeganan ini tidaklah bermaksud mengekalkan sesuatu yang bersifat asli, tapi merangkum segala sesuatu yang asing, bahkan seluruh kosmos. Tenaga Tuhan meliputi seluruh alam benda dan makhluk halus dan manusia, maka cerita pendek, dalam kependekan dan keterbatasannya mencoba membuat-Nya sedekat darah dan daging kita sendiri. Cerita pendek adalah jagad kecil yang menghubungkan diri dengan jagad besar.

Danarto sering mengawali cerita dengan paragraf yang mirip jampi-jampi atau mantra, baik untuk menarik pembaca ke dalam cerita, atau membuat pembaca menghadapi tontonan belaka. Atau, dengan itu, kita pembaca bisa keluar masuk dengan leluasa kapan saja: kita bisa berada di dalam cerita untuk membuktikan bahwa kita sendiri belum bebas dari irrasionalisme; kita bisa juga berada di luar cerita, menonton fantasi yang melawan nalar, tapi yang justru membuat kita yakin akan kekuatan nalar kita. Membaca Danarto adalah semacam rekreasi total: perwujudan kembali pikiran anak-anak di tubuh dewasa, tubuh sosial kita.

Dengan baik fiksi Danarto mengadopsi watak mulur-mungkret dari ranah Jawa. Kalaupun ia mengambil latar yang menakutkan (misalnya saja medan perang, kuburan angker, padang tandus di malam hari), maka dengan segera berbagai itu menjadi alas untuk mendedahkan kelakar dan olok-olok. Miriplah kiranya dengan babak goro-goro dalam pentas wayang, yang bisa begitu saja menyela pertikaian, peperangan atau peristiwa serius lainnya. Tak keliru bila dikatakan bahwa guyon dan olok-olok merupakan warna dasar cerita Danarto, di mana sejenis goro-goro, atau bahkan lawakan gaya Srimulat, mengemuka di sana-sini kapan saja peristiwa menjadi terlalu muram.

Boleh dikatakan pula bahwa cerita Danarto tidak mengejar tujuan cerita atau moral cerita, namun mengutamakan improvisasi itu sendiri. Ini tentu saja berbeda dengan realisme biasa, yang memaksakan semacam skema sosial di mana yang lemah berhadapan dengan yang kuat, penghadapan kurang-lebih pencerminan halus akan sejenis konflik kelas. Improvisasi Danarto tidak lain ketimbang cara untuk tawar-menawar dengan nasib, hukum alam, anggapan umum, dan hukum sosial.

Namun Danarto tak menolak untuk menyatakan pandangannya perihal keadaan sosial atau moral. Tetapi pelbagai pandangan itu, yang seringkali sangat eksplisit (misalnya diucapkan langsung oleh tokoh) ia perkelindankan dengan fantasi atau gagasan mistik. Seorang tokoh misalnya, yang merasa dirinya lemah, berkata bahwa ia ingin menjadi yang mahakuasa, bahwa syahwatnya yang terbesar adalah melihat wajah Tuhan. Keseriusan semacam ini boleh jadi semacam khotbah, tapi khotbah yang mengundang senyum, karena diucapkan oleh dia yang akhlaknya serba meragukan, di tengah suasana kalibut yang tak mendukung keseriusan pula.

Sangat masuk akal kiranya jika Danarto mengambil ke dalam ceritanya pengaruh sufisme—suatu laku agama (berdasarkan) cinta, yang bukan hanya cocok dengan rasa Jawa, tetapi juga dengan eklektisisme, termasuk eklektisisme Jawa, yang mencari irisan berbagai agama dan keyakinan, lawan dari agama terorganisir yang pencuriga dan pembenci. Dalam Godlob dan Adam Ma’rifat (1982), Danarto seakan memberi shock therapy kepada kaidah, tata dan keseriusan, yang ditekan-tekankan oleh agama terorganisir atau ideologi sosial.

Dalam kiprah berikutnya, katakanlah kumpulan cerita pendeknya Berhala (1987), Gergasi (1993), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001), dan Kacapiring (2008), Danarto tegas mengolah dunia sehari-hari, tokoh-tokoh di sekitar kita, dan komentar sosialnya terasa lebih eksplisit. Seakan cerita tidak dapat lagi memberikan alternatif hanya dengan membentangkan dunia yang gaib dan misterius. Di samping mengadopsi kesegeraan media massa, Danarto juga lebih eksplisit dalam berbicara tentang golongan sosial, kalau bukan kelas sosial. Berbagai peristiwa yang disajikannya seakan kita kenal, masih hangat, seakan baru diberitakan koran pagi atau televisi. Namun dalam kehangatan itulah yang mengintip dunia seberang sana, yang menghubungkan hidup dengan kematian, kebahagiaan dengan kehancuran, modernitas dengan daya primitif, dan keindahan dengan keburukan.

Kalaupun Danarto bicara tentang kelas, misalnya saja kelas menengah, maka, alih-alih mempertentangkannya dengan kelas lain, ia mendedahkan kerusakan laten yang dikandung oleh kelas itu sendiri. Tokoh-tokohnya menjadi dalang dan korban dari peristiwa dalam cerita; mereka saling bertukar tempat, tetapi tidak begitu menyadari peran dan tujuan masing-masing. Cerita adalah panggung, di mana para tokoh bermain sandiwara, sayang pula sandiwara itu telanjur dipercaya oleh mereka maupun golongan mereka sendiri sebagai kehidupan nyata sehari-hari. Sedangkan si pengarang sendiri menjadi semacam ventriloquist yang, sambil tidak kita kenali kehadirannya, membagikan suaranya kepada para tokoh.

Atau Danarto bisa juga “mencuri” peristiwa nyata (misalnya saja bencana tsunami di Banda Aceh) dan mengasingkannya dari tangkapan kita sama sekali. Kita baru mengenali peristiwa itu kemudian, di akhir cerita, sebagai “milik” kita, justru karena peristiwa itu hanya berlangsung dalam rekaan, tepatnya sebagai sekadar akibat samping dari tindakan tokoh. Berbeda dengan kaum realis pada umumnya, yang menyajikan potret-ulang seraya mendesakkan simpati, Danarto justru memberi kita reka-rekaan, lukisan tak nyata, yang tak memperalat kaum korban.

Demikianlah, Danarto, selama empat dasawarsa kiprah kepenulisannya telah memanfaatkan berbagai khazanah dominan seperti Jawa dan Islam, namun senantiasa mengambil sisi lain, atau sisi tersembunyi yang berwatak subversif, daripadanya. Pada saat berbagai khazanah itu diarahkan oleh para pendukungnya kepada formalisme dan esensialisme, bahkan fundamentalisme, Danarto telah melenturkan khazanah-khazanah itu, mengindonesiakannya, menjadikannya kritik terhadap kaum mapan yang apologetis itu.

Bersamaan dengan itu pula, penulis yang lahir pada tahun 1940 ini melunakkan bahasa sastra dengan mengadopsi perbagai ungkapan yang mungkin, yang datang dari kelisanan kedua masyarakat kita. Dengan itulah kita merasakan subversi Danarto sebagai hiburan, kritiknya sebagai olok-olok, sastranya sebagai tuturan, falsafahnya sebagai grafiti, dan keseriusannya sebagai permainan. Sastra, di tangan Danarto, adalah suatu cara untuk menggumuli modernitas dengan cara yang sangat Indonesia: atau suatu kiat untuk menyelami lubuk jiwa masyarakat pascajajahan yang membaurkan kemajuan dengan segenap cacatnya.

Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2009 bidang Kusastraan ini diberikan kepada Danarto.

Lebih banyak dikenal sebagai sastrawan, sesungguhnya Danarto juga berkiprah sebagai senirupawan, penata artistik, penulis naskah sandiwara dan sutradara teater.

Ia pernah menempuh pendidikan di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta, dan bergabung dengan perhimpunan pelukis Sanggar Bambu, yang sering berpameran keliling pada awal 1960-an. Sebagai pelukis, ia masih giat dalam berbagai pameran bersama. Karya ilustrasi hitam-putihnya untuk cerita wayang yang ditulis oleh berbagai sastrawan di majalah Zaman pada akhir 1970-an banyak dipuji oleh berbagai kalangan. Ia juga kerap menggarap kulit depan buku-bukunya sendiri. Sebagai penata artistik, ia pernah terlibat dalam berbagai pentas tari dan teater, dan film. Ia juga pernah membuat topeng, relief, mosaik, dan mural.

Naskah-naskah sandiwaranya adalah, antara lain, Bel Guduwel Beh dan Obrok Owok-owok Ebrek Ewek-ewek, keduanya 1976, yang ia pernah ia sendiri.

Danarto mulai menyiarkan cerita pendeknya di majalah sastra Horison sejak 1967. Tapi jauh sebelum itu, yaitu pada awal 1960-an. ia sudah menulis cerita anak-anak di majalah Si Kuntjung.

Buku-buku cerita pendeknya adalah Godlob (1974), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1993), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001) dan Kacapiring (2008). Novelnya adalah Asmaraloka (1999).

Berbagai penghargaan yang pernah diterimanya adalah Hadiah Majalah Horison, Hadiah Yayasan Buku Utama (1982 dan 1987), serta SEA Write Award (1988).

Pengalamannya menunuaikan haji ia tuangkan dalam buku Orang Jawa Naik Haji (1984), buku yang pernah populer pada masanya. Adapun kumpulan esainya adalah Begitu ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu (1996) dan Cahaya Rasul (1999).
 
Danarto lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1940. Ia tinggal di Jakarta.

5 Minuman Alami Bantu Atasi Radang Tenggorokan Selama Puasa

Sumber: Buku Penghargaan Achmad Bakrie 2009

Ilustrasi perkelahian dan pengeroyokan.

4 Pria Terkapar Babak Belur di Depan Polres Jakpus, 14 Anggota TNI Diperiksa

Para anggota TNI itu diduga tak terima Prada Lukman dikeroyok preman di Pasar Cikini, Rabu, 27 Maret 2024. Prada Lukman membela ayah rekannya yang dipalak kawanan preman.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024