Sajogyo dan Tolok Ukur Kemiskinnan Indonesia

Freedom Institute didukung oleh Bakrie Untuk Negeri memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2009 kepada lima anak bangsa berprestasi karena ketekunan dan sumbangan luar biasa bagi masing-masing bidang.

Daftar Harga Motor Vespa per Maret 2024


Mereka adalah Sajogyo bidang pemikiran social, Ag Soemantri bidang kedokteran, Pantur Silaban bidang Sains, Warsito P Taruna bidang teknologi, dan Danarto bidang kesustraan. Berikut profil Sajogyo.

Nama Sajogyo hampir identik dengan isu pedesaan serta pengukuran garis kemiskinan di Indonesia. Siapa saja yang pernah belajar ilmu ekonomi dan sosial, pasti fasih menjelaskan apa itu garis kemiskinan, kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, indeks ukur kemiskinan, elastisitas kemiskinan, dan berbagai ukuran distribusi. Sajogyo memberikan kontribusi cukup besar dalam menjelaskan konsep-konsep ini. Ia juga menguji serta menerapkannya langsung dalam studi-studi di lapangan. Tulisan-tulisannya berkontribusi besar kepada perkembangan ilmu sosial maupun perumusan kebijakan di Indonesia.

Nama Sajogyo seolah menjadi sebuah solusi bagi kemajalan metodologis, ketika angka-angka pengeluaran nominal rumah tangga ternyata bukanlah indikator yang baik atas standar hidup relatif. Menurut Sajogyo, garis kemiskinan yang relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang langsung merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan. Kecukupan pangan ini pada gilirannya dapat terwakili oleh beras. Dengan menggunakan ukuran penghasilan senilai harga beras untuk konsumsi minimal yang layak, Sajogyo menawarkan garis kemiskinan yang lebih relevan dan realistik.

Konsumsi minimal itu ia dapatkan sebagai terjemahan kebutuhan kalori yang layak (saat ini sekitar 2100 kalori). Logikanya sederhana, namun tuntas masuk akal. Porsi pengeluaran terbesar dan terpenting kaum papa adalah pada makanan. Makanan pokok Indonesia adalah beras, dan ada jumlah batas konsumsinya yang menjamin ketersediaan kalori untuk tetap bertahan hidup layak. Terakhir, terdapat perbedaan harga antar daerah dan antar jenis beras di Indonesia. Bagaimana merefleksikan semua karakteristik ini dalam merepresentasikan statistik kemiskinan di Indonesia dengan cara yang bisa bermanfaat bagi pengambilan kebijakan adalah pertanyaan yang digeluti Sajogyo. Dari sini, lahirlah “Garis Kemiskinan Sajogyo.” Garis kemiskinan ini lalu diadopsi oleh akademisi, pemerintah, dan masyarakat umum.

Tentulah Garis Kemiskinan Sajogyo bukan tanpa kekurangan. Pertama, ada kebutuhan pokok lain di luar beras. Juga, ada masyarakat yang belum tentu bergantung kepada beras sebagai makanan pokok. Kritikan ini bukanlah fatal. Ia dengan mudah bisa diakomodasi dalam kerangka berpikir a la Sajogyo: ubah unit kebutuhan pokok lainnya ke dalam ekivalensi kalori beras, termasuk jika jagung atau ubi-ubian mengganti peran beras dalam rumah tangga masyarakat.

Hal kedua lebih serius: perubahan harga beras tidaklah secepat perubahan harga barang kebutuhan pokok lainnya. Maka ketika harga beras naik lebih lambat daripada harga barang lain pada akhir tahun 1960an, penurunan garis kemiskinan yang ukurannya hanya bertumpu pada pergerakan harga beras niscaya lebih dramatis ketimbang kenyataan sesungguhnya. Kritikan ini pun semestinya dapat diakomodasi dalam metode dan pendekatan Garis Kemiskinan Sajogyo.

Mahasiswa di kelas sosial dan ekonomi hari ini mestinya fasih melafalkan hukum hasil tambahan yang menurun – diminishing marginal productivity. Bahwa produktivitas sepetak tanah akan meningkat dengan masuknya tambahan petani dan pacul. Namun tambahan itu semakin sedikit dan bukan tidak mungkin menuju negatif. Penjelasan definitif semacam ini bisa cukup bagi mahasiswa untuk mendapatkan angka penuh. Namun seorang Sajogyo tidak berhenti pada definisi. Ia melihat dan mencatat. Ia memaknai teori involusi pertanian yang dikembangkan Clifford Geertz dengan angka-angka yang ia suarakan dan mutakhirkan.

Geertz mencatat bahwa 45 persen petani di Jawa pada tahun 1903 bertani di atas tanah seluas kurang dari 0,5 hektar dan hanya 22 persen di atas tanah minimal 1 hektar. Sajogyo mencatat bahwa angka-angka itu telah berubah menjadi 61 persen dan 16 persen pada tahun 1963. Proses produktivitas ”meningkat pada laju yang menurun” tersebut sedang berlangsung. Sajogyo menulis, masalah Jawa adalah tanah yang tak memadai. Memaksakan produktivitas pada tanah yang tidak cukup akan membawa kepada involusi: intensitas penggarapan tanah yang melewati batas. Akibatnya adalah kontraproduktivitas.

Dua pelajaran tambahan pun kita dapatkan dari penelitian Sajogyo ini. Pertama, dilihat dari kepemilikan tanah, petani adalah berlapis. Semakin kecil tanah garapannya, semakin rentan ia akan kemiskinan. Dewasa ini studi tentang dampak kebijakan (misalnya pembatasan impor beras) harus masuk kepada kelompok-kelompok petani, apakah mereka produsen neto, atau justru konsumen neto.

Kegagalan memilah agregat petani akan menyebabkan kebijakan yang salah sasaran, mengingat kepentingan konsumen dan produsen sungguh berhadapan diametral. Jauh dahulu, Sajogyo telah menunjukkan kepada kita betapa beragamnya petani Indonesia. Bukan hanya kelompok produsen atau konsumen neto sebagaimana literatur mutakhir saat ini, tapi Sajogyo mengidentifikasi petani tradisional (peasant) dan petani moderen (farmer), petani gurem (yang diasumsikannya sebagai client) dan petani kaya (patron). Bahkan pembagian seperti ini masih dikombinasikan lagi dengan dimensi lain yang tidak kalah relevan, seperti lapisan rumah tangga di Jawa: ”atas” (dengan karakteristik akumulasi modal), ”tengah” (yang berorientasi pada konsolidasi), serta ”bawah” (yang berorientasi pada survival). Implikasi bagi kita jelas. Bahwa memperlakukan petani sekedar sebagai sebuah agregasi lalu menjadikannya sebagai target kebijakan tunggal sungguh berbahaya.

Kedua, sebagai konsekuensi dari ketakcukupan tanah, maka faktor produksi bergerak, yaitu manusia petani akan mencari tanah baru. Masalah Jawa berupa tanah yang tak memadai akan menimbulkan insentif migrasi ke pulau lain. Hal ini bisa terjadi bahkan tanpa program pemerintah. Ini yang disebut oleh Sajogyo sebagai ”transmigrasi spontan”. Ia mungkin terdengar sangat alamiah, dan karenanya sederhana saja. Namun implikasinya besar: realokasi faktor produksi akan merubah tatanan ekonomi menuju keseimbangan yang baru. Ini menjadi semakin penting terutama karena di era desentralisasi dan otonomi daerah seperti saat ini, isu transmigrasi bukanlah hal yang sederhana lagi. Ia adalah fungsi timbal balik atas kompleksitas perencanaan daerah, termasuk aspek pembiayaan.

Tapi Sajogyo bukan tak mengantisipasi hal ini. Dalam beberapa tulisannya, ia berkisah tentang petani Jawa yang ”berteruka” atau membuka ladang baru dengan persetujuan ”marga” di Lampung. Dalam buku teks di ruang kelas kita belajar isu hak kepemilikan dengan contoh-contoh standar yang kebanyakan adalah kasus di negara lain. Sajogyo melihatnya bukan sekedar di ruang kelas atau di buku teks. Ia mengamatinya langsung di desa-desa di Jawa dan Sumatra. Bahwa transmigrasi spontan dapat melahirkan sistem bagi hak kepemilikan dan mekanisme insentif-disinsentif sosial yang membawa pada masyarakat baru.

Sajogyo adalah sosiolog pedesaan dengan semangat aktivis yang tidak tinggal diam. Ia sangat peduli pada nasib petani dan unsur masyarakat lain di pedesaan. Tapi ia juga sangat menguatirkan perusakan alam dan lingkungan oleh manusia. Ia tidak kaku pada hanya satu disiplin ilmu; sebaliknya terus mencari tanpa pernah mangklaim kebenaran sendiri. Sebaliknya, ia juga tidak pernah menerima formulasi peneliti atau orang lain tanpa reservasi. Ia menemukan kelemahan pada ukuran kemiskinan konvensional, maka ia perbaiki. Terakhir, ia juga mengaplikasikan sekaligus mengritik indeks mutu hidup.

Di balik statistik kemiskinan serta alat analisis ekonomi pedesaan, pemikiran Sajogyo adalah fondasi yang bermanfaat. Ia adalah ilmu yang sederhana. Namun tuntas masuk akal. Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu Sajogyo telah memberitahukan kita: kemiskinan bukanlah sekedar angka. Ia adalah realita. Sebuah kenyataan yang membutuhkan alat analisis yang juga realistis. Atas kegigihannya ini dan atas ketekunan dalam bidangnya, tim juri menganugerahkan Penghargaan Ahmad Bakrie kepadanya.




Sajogyo lahir di Karanganyar, Jawa Tengah 21 Mei 1926 dari pasangan guru Soewardjo Poerwoatmodjo dan Chamidah. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah kota sebelum menjadi mahasiswa pertanian di Fakultas Pertnaian Universitas Indonesia di Bogor (yang lalu menjadi Institut Pertanian Bogor pada tahun 1963), tempat ia memperoleh gelar Insinyur pertaniannya pada tahun 1955. Dalam waktu singkat ia mendapatkan gelar Doktor pada tahun 1957 di bawah bimbingan Professor WF Wartheim, guru besar tamu dari Belanda. Ia juga pernah mengikuti program pascadoktoral di Universitas Chicago tahun 1961-62. Tahun 1963, Sajogyo dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian IPB.

Disertasi doktoral Sajogyo telah diterbitkan sebagai buku dengan judul Masyarakat Transmigrasi Spontan di Daerah Way Sekampung, Lampung (Gadjah Mada University Press, 1975). Bukunya yang lain mencakup Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (IPB Bogor, 1974), Kumpulan Bacaan Sosiologi Pedesaan I & II (Gadjah Mada University Press, 1982), Bunga Rampai Perekonomian Desa (Yayasan Obor Indonesia, 1982), dan Ekologi Pedesaan (Yayasan Obor Indonesia, 1983). Sajogyo juga kerap menulis di media seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan, dan Prisma.

Sajogyo pernah menjadi Ketua Badan Kerja di bawah Menteri Pertanian RI untuk Proyek Survey Agro Ekonomi (SAE) tahun 1965-72. Ia juga terlibat dalam studi atas perubahan struktur agraria yang disponsori FAO tahun 1972-73 dan studi evaluasi Program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga dengan sponsor UNICEF tahun 1975. Profesor Sajogyo mengajar di Program S1 Sosial-Ekonomi Fakultas Pertanian IPB tahun 1957-80 dan Program Studi Pasca Sarjana (S2/S3) Sosiologi Pedesaan IPB tahun 1975-98. Pada tahun 1965-66 Sajogyo menjabat sebagai Rektor IPB.

Sumbangsih Sajogyo terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia terutama melalui pemikirannya mengenai konsep dan apligasi garis kemiskinan. Selain itu ia juga menjadi salah seorang yang mempengaruhi keputusan pemerintah menjalankan kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Sajogyo aktif dalam berbagai organisasi keilmuan dan kemasyarakatan seperti Yayasan Agro Ekonomika, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia dan Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan. Ia juga pernah menjadi salah satu ketua dalam Dewan Riset Nasional. Di IPB selain pernah menjadi Rektor, Sajogyo juga pernah menjadi Ketua Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan dan Kepala Pusat Studi Pembangunan.

Sumber: Buku Penghargaan Achmad Bakrie 2009

Thailand Prime Minister Welcomes Albino Buffalo to Government House
Calon Anggota Legislatif DPR RI dari Partai Demokrat, Fathi

Caleg Demokrat Fathi Lolos ke Senayan Bareng Melly Goeslaw dari Dapil Jabar I

Partai Demokrat berhasil meraih satu kursi DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Barat I (Jawa Barat), Kota Bandung dan Cimahi periode 2024-2029. Sebab, partai yang diketuai

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024