KPAI Sebut Pelaku Teror Bom Medan Korban Doktrin Menyimpang

Anggota Brimob Polri melakukan penjagaan di halaman Gereja Katolik Stasi Santo Yosep pascaperistiwa teror bom di gereja tersebut di Medan, Sumatra Utara, Minggu (28/8/2016)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

VIVA.co.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Santo Yosep Medan, Sumatera Utara, merupakan korban dari doktrinasi dari ideologi menyimpang.

Senada dengan BNPT, Guru Besar UI Sebut Perempuan, Anak dan Remaja Rentan Terpapar Radikalisme

"Kasus di Medan dan beberapa titik terorisme menyasar (kepada) anak-anak, baik anak yang menjadi korban langsung maupun anak yang korban doktrinasi sehingga potensial menjadi pelaku," kata Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh di Mabes Polri Jakarta Selatan, Selasa, 30 Agustus 2016.

Asrorun mengatakan, ada kejanggalan pelaku yang masih di bawah umur namun bisa melakukan tindakan yang ekstrim seperti itu. Menurut dia, hal itu tentunya ada orang menyiapkan dengan mencuci otak atau pun mendoktrin pelaku. "Usia anak yang di Medan itu belum 18 tahun, dia bisa melakukan itu. Pasti ada conditioning dan juga doktrinasi," ujarnya.

Rusia Sebut AS Buru-buru Tuduh ISIS Atas Serangan Gedung Konser di Moskow

Atas peristiwa itu, kata Asrorun, pihaknya akan melakukan rapat terbatas dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan beberapa pihak terkiat untuk mendiskusikan persoalan perlindungan anak dari bahaya doktrinasi terorisme itu. 

"Harus ada proses pencegahan agar anak yang terindikasi terpapar radikalisme itu bisa diselamatkan bisa dilindungi bisa dipulihkan dengan cara mengenalkan re-edukasi, melakukan proses pendidikan ulang," katanya menambahkan.

100 Orang Masih Hilang Dalam Aksi Penembakan di Gedung Konser Moskow

Selain itu, menurut Asrorun, dalam penanganan kasus itu, meskipun kasus itu menyangkut dengan dugaan tindak pidana terorisme, namun harus tetap menerapkan sistem peradilan pidana anak sesuai dengan yang telah di atur didalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

Sehingga anak diposisikan menjadi korban dengan membutuhkan, dikembalikan dan dipulihkan pikirannya dan psikologisnya. "Ketika anak menjadi pelaku tindak pidana termasuk di dalamnya pidana terorisme maka berlaku Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dengan menempatkan anak sebagai korban sehingga butuh direstorasi butuh dipulihkan," katanya.

Dia menambahkan, pendekatan restoratif yang dilakukan itu tentu akan menjadi penting dalam kerangka memutus mata rantai transimisi kekerasan dengan menempatkan anak-anak sebagai kadernya.

"Kalau ini tidak ditangani secara serius sedari dini maka akan muncul embrio terorisme baru. Ini harus diputus mata rantai itu. Dan alhamdulillah BNPT memiliki kesamaan pandang anak itu menjadi korban sehingga butuh dipulihkan, ditangani secara khusus."

(mus) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya