Aktivis HAM Ungkap 14 Terpidana Mati dalam Daftar Eksekusi

Lokasi eksekusi mati tahap III di Nusakambangan
Sumber :
  • M Solihin
VIVA.co.id
Menguak Kejanggalan Hukuman Mati Mary Jane
- Rencana pemerintah melakukan eksekusi terpidana mati dalam waktu dekat, makin jelas terlihat, setelah 14 orang terpidana mati dikirimkan dan ditempatkan di dalam sel isolasi di Nusakambangan. Pemerintah juga telah mengirimkan pemberitahuan pelaksanaan eksekusi pada 26 Juli 2016 lalu, yang disampaikan secara tertutup kepada pihak terkait saja. 

Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar
Artinya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 2/PNPS/1964, maka dalam beberapa hari ke depan atau pada hari Jumat, 29 Juli 2016, para terpidana mati tersebut kemungkinan besar akan dihadapkan pada regu tembak.
 
Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman
Namun hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum secara resmi merilis daftar terpidana dalam rencana eksekusi tahap ketiga di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini. "Hal ini menunjukkan tidak terbukanya Pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan HAM yang menyeluruh bagi setiap individu," jelas Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Kamis, 28 Juli 2016.
 
Elsam membeberkan daftar 14 terpidana mati yang telah dikirim ke Penjara Nusakambangan yakni:
 
1. Eugene Ape (NIGERIA)
2. Gurdip Singh (INDIA)
3. Humprey Jefferson (NIGERIA)
4. Zulfikar Ali (PAKISTAN)
5. Seck Osmane (SENEGAL)
6. Michael Titus (NIGERIA)
7. Fredi Budiman (INDONESIA)
8. Okonkwo N. Kingsley (SIERRA LEONE)
9. Frederick Luttar (ZIMBABWE)
10. Agus Hadi (INDONESIA)
11. Merri Utami (INDONESIA)
12. Pujo Lestari (INDONESIA)
13. Obina Nwajagu (ZIMBABWE)
14. Ozias Sibanda (NIGERIA)
 
Dari daftar nama terpidana di atas, semuanya merupakan terpidana mati untuk kasus narkotika. Di sisi lain, Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, telah tegas menyatakan hukuman mati hanya dapat diterapkan secara terbatas, khusus untuk kejahatan paling serius.

"Sedangkan tindak pidana narkotika tidak masuk ke ambang kejahatan yang paling serius tersebut. Sehingga, pemberlakuan eksekusi pidana mati tersebut dapat dikonklusikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup," katanya.

Sama halnya dengan eksekusi pada dua gelombang terdahulu, rencana pelaksanaan eksekusi tersebut juga tidak lepas dari maraknya praktik peradilan yang tidak adil. 

Elsam pun memberikan gambaran mengenai ketidakadilan itu. Pada fase awal pemeriksaan kasus Agus Hadi dan Pujo Lestari, kedua terpidana ini tidak didampingi oleh kuasa hukum. 

"Dalam kasus yang berbeda, terpidana Eugene Ape dipidana mati atas dasar menyimpan dan menyalurkan narkotika, padahal selama persidangan tidak terbukti bahwa dia melakukan penyaluran narkotika. Lebih parah lagi dalam kasus Humprey Jefferson, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana mati semata atas dasar pertimbangan yang bersifat diskriminatif, yakni warna kulit dan asal kebangsaan. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dapat dikoreksi," ucapnya.
 
Selain itu, beberapa terpidana mati bahkan kerap mengalami penyiksaan selama masa penahanan, sebagaimana yang dialami Humprey Jefferson, Merri Utami, Zulfikar Ali dan Michael Titus. Mempertimbangkan lebih jauh, kendati beberapa terpidana mati merupakan warga negara asing dari negara-negara retensionis hukuman mati, seperti Pakistan, Nigeria dan India, namun hal ini tidak dapat menjadi pembenaran bagi Indonesia dalam melakukan kesalahan sama, untuk tidak mematuhi kewajiban internasionalnya dalam sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang mengikat kepadanya.
 
Menilik fakta di atas, Elsam mendesak Pemerintah Indonesia tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, dengan cara membatalkan rencana eksekusi ini. "Di tengah masih besarnya praktik unfair trial dalam sistem peradilan Indonesia yang masih korup, hal ini penting untuk menghindari kesalahan penghukuman, yang menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana," jelas Wahyu.
 
Sesuai dengan rekomendasi yang dituangkan dalam Deklarasi Akhir Kongres Dunia ke-6 Menentang Hukuman Mati 2016 yang berlangsung di Oslo, Norwegia, dan turut dihadiri 1.300 peserta dari 121 negara di dunia, Pemerintah Indonesia harus segera memberlakukan kembali moratorium eksekusi terpidana mati. 

"Semua putusan pengadilan yang memberikan vonis pidana mati, harus dilakukan peninjauan kembali, mengingat masih tingginya peluang peradilan sesat, dan harus pula diikuti dengan adanya kajian mendalam untuk merevisi semua peraturan perundang-undangan yang masih memberlakukan sanksi pidana mati," ungkapnya.

Jika tetap dilakukan, pemerintah dinilai mengingkari kewajiban konstitusional dan internasionalnya, dengan alasan menegakkan undang-undang. Padahal, UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun. Indonesia juga terikat dengan sejumlah traktat internasional, yang di dalamnya melarang praktik hukuman mati, khususnya Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya