Saksi Ungkap Kejanggalan Kerugian Negara Korupsi BPJS Subang

Istri terdakwa kasus suap BPJS yang juga mantan Kadis Kesehatan Subang Jajang Abdul Kholik, Lenih Marliani menjalani pemeriksaan di KPK
Sumber :
  • ANTARA

VIVA.co.id - Penanganan kasus dugaan korupsi Dana Kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Kabupaten Subang untuk tahun anggaran 2014 dinilai janggal. Hal ini menyangkut besaran nilai kerugian negara dalam kasus itu, yang selalu berubah-ubah dalam proses penyidikannya.

Eks Bupati Subang Imas Divonis 6,5 Tahun Penjara
 
Proses hukum itu, kemudian berujung dugaan suap penanganan perkara ini di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Kejanggalan kasus ini diungkapkan pengacara yang direkomendasikan Polda Jawa Barat, Nur Holim, saat bersaksi untuk terdakwa Jajang Abdul Kholik dan Lenih Marliani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.
KPK Tetapkan Dirut PT Pura Binaka Mandiri Sebagai Tersangka
 
Nur Holim mengungkapkan, saat kasus ini disidik dengan tersangka mantan Kepala Dinas Kesehatan Budi Subiantoro dan Jajang Abdul Kholik masih berstatus saksi.
KPK: Bupati Subang Diduga Terima 8 Kali Uang Suap
 
Saat itu, Nur Halim sudah memberikan imbauan untuk segera mengembalikan kerugian negara agar bisa diringankan, padahal dia belum menjadi kuasa hukum Jajang. "Karena akan diuntungkan untuk proses ke depan. Misalnya, dalam proses penyidikan itu, tidak ditahan," terang Nur Holim di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu, 27 Juli 2016.
 
Namun, proses hukum terus berjalan, dan pada November 2015, Jajang juga ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi. Nur Holim, yang sebelumnya menjadi saksi dalam penyidikan tersebut, resmi menjadi pengacara Jajang. "Mendampingi setelah ditetapkan sebagai tersangka. Saya melihatnya secara umum saja. Memberikan masukan, koperatif saja untuk mengungkapkan apa yang terjadi," ujarnya.
 
Penetapan tersangka terhadap Jajang ini, membuat Nur Holim berspekulasi, dan menilai proses hukum tersebut berpotensi melibatkan banyak pihak lain. Alhasil dia mulai intens berkomunikasi dengan Bupati Subang Ojang Suhandi. 
 
"Mengikuti saja, kan prinsipnya seperti itu. Ada banyak pihak yang berpotensi menjadi tersangka," terangnya.
 
Komunikasi ini dilakukan terkait pengembalian kerugian negara dalam kasus itu. Namun, dalam perjalanannya, menurut Nur Holim, Ojang sempat menolak rencana tersebut. Menurutnya, Ojang justru menanyakan cara untuk meringankan masalah ini, dalam penanganan perkara yang ditangani penyidik Unit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus itu.
 
"Soal peringanan terjadi lebih awal. Satu sisi (Ojang) marah, satu sisi percaya dengan menanyakan apa yang meringankan, saya jawab bayar saja seluruh kerugian negara," kata Nur Holim.
 
Oleh karenanya, Bupati Ojang mempercayakan uang senilai Rp1,4 miliar kepada Nur Holim untuk meringankan proses hukum tersebut. Dana itu diberikan secara bertahap, Rp1 miliar diberikan pada 18 Oktober 2015 di Hotel Panghegar Bandung, dan Rp400 juta di kawasan mall Jalan Pasir Kaliki, Bandung, pada 6 November 2015.
 
Usai persidangan, Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Dody Sukmono, menjelaskan kasus korupsi ini memang sudah terlihat janggal saat ditangani penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat.
 
Menurutnya, pemberian suap oleh Istri Jajang, Lenih Marliani, kepada Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tidak hanya disebabkan saat di persidangan. 
 
"Permasalahan awal, salah satu alasan menyuap, itu kan berkaitan dengan penentuan berapa sih kerugian Negara? Dari itu, kita ingin menyajikan runtutan penghitungan kerugiannya itu dari sini, mulai dari proses penyidikan itu (Polda)," ungkap Dody.
 
Menurutnya, saat proses penyidikan, kewajiban nominal kerugian negara yang wajib dikembalikan tersangka Jajang selalu berubah-ubah.
 
"Itu pun simpang siur, ada yang Rp2,6 miliar, ada yang Rp4,7 miliar. Sehingga dari situlah muncul Rp1,4 miliar yang apakah benar itu untuk pengembalian kerugian negara, akan kita dalami," ujarnya.
 
Dody menegaskan, jaksa tidak mempermasalahkan jumlah yang dibebankan, namun pada cara pengembaliannya. Hal ini sesuai dengan kesaksian Nur Holim, yang menyebut dana Rp1,4 miliar itu untuk meringankan dalam penanganan perkara itu.
 
"Kita merasa ini ada kejanggalan untuk pengembaliannya loh. Kalau nilainya enggak, itu diitung auditor negara. Untuk pemulihan kerugian yang ditimbulkan, itulah yang menjadi simpang siur," terangnya.
 
Kesaksian Nur Holim, kata Dody, juga menunjukan langkah pengembalian kerugian negara dilakukan secara berbelit - belit.
 
"Dari saksi, itu untuk pengembalian kerugian Negara. Tapi, mekanisme yang dibangun, yang ditempuh, bukan seperti itu dalam pengembalian uang Negara," teranganya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya