Vaksin Palsu Berdedar, Jokowi Didesak Ganti Kepala BPOM

Gelar barang bukti kasus vaksin palsu di Mabes Polri.
Sumber :
  • Syaefullah/ VIVA.co.id

VIVA.co.id - Para advokat yang tergabung Jaringan Advokat Republk Indonesia (JARI) mendukung langkah Kepolisian yang membuat satgas untuk mengungkapkan jaringan, distributor, dan pembuat vaksin palsu. Karena, vaksin palsu bila terus beredar akan merugikan masyarakat, terutama anak-anak.

Hoaks, WHO Temukan Vaksin COVID-19 Palsu di Indonesia

"Buat kami, angin segar atas upaya Kepolisian dapat mengungkap jaringan dstributor vaksin palsu, dengan begitu positif terhadap perlindungan konsumen," kata Ketua Umum DPP JARI Krisna Murti dalam siaran persnya, Rabu 29 Juni 2016.

Krisna berharap, penegak hukum tidak terhenti sampai 15 orang yang kini sudah ditetapkan menjadi tersangka. Namun, terus mengungkap siapa di balik pemain tersebut, termasuk jika ada dari aparat pemerintah.

WHO Temukan Vaksin Palsu COVID-19 di India dan Afrika

"Siapa pun, termasuk oknum pemerintah. Karena ini, peredaran itu merugikan masyarakat," katanya singkat.

Krisna meminta, agar Kementerian Kesehatan dan Badan Obat dan Pengawas Makanan (BOPM) tidak kecolongan lagi dan selalu waspada. Sebab, kejahatan ini ternyata sudah dilakukan sejak 2003.

Lebih 2.500 Warga India Jadi Korban Vaksin COVID-19 Palsu

"Bayangkan, 13 tahun sudah berlangsung vaksin palsu beredar. Tentunya, kita melihat lemahnya pengawasan dan juga lalai dalam mengontrol obat-obat yang masuk di pasaran, terutama kinerja BOPM," ujarnya.

Krisna menambahkan, organisasinya juga mendesak Kementerian Kesehatan mengidentifikasi kepada seluruh korban untuk selanjutnya dilakukan vaksinasi ulang dengan penanganan medis. Kemudian, mendesak seluruh rumah sakit dan apotik, agar menyerahkan vaksin palsu yang suda beredar.

"Tentunya, JARI meminta penegak hukum, agar menghukum para tersangka dengan seberat-beratnya. Tidak kalah penting, agar Presiden RI memberhentikan Kepala BPOM sebagai bentuk tanggung jawab atas kelalaiannya. Karena vaksin palsu yang beredar merugikan masyarakat, terutama anak-anak yang mempunyai hak undang-undang atas kesehatannya," tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya