KPK Panggil Saksi yang Sudah Meninggal

Komisioner KPK Basaria Pandjaitan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Pemeriksaan di hari kedua yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Medan, atas sejumlah kasus dugaan penyuapan yang dilakukan Mantan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Gatot Pudjo Nugroho menuai kritik. Administrasi di lembaga anti korupsi itu dinilai amburadul.

KPK: Sahroni Sudah Kembalikan Aliran Dana Rp 40 Juta dari SYL yang Mengalir ke Nasdem

Soalnya, KPK memanggil terhadap anggota DPRD Sumut, Effendi Napitupulu dari Fraksi PDI-P yang sudah meninggal pada 19 April 2016, lalu. Nama Effendi Napitupulu tercantum di 28 anggota DPRD Sumut, yang dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi di Markas Brimob Polda Sumatera Utara, Selasa 21 Juni 2016.

Pemanggilan orang sudah meninggal sebagai saksi, itu menjadi 'buah bibir' di kalangan anggota DPRD Sumut. Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI Perjuangan, Sutrisno Pangaribuan mengkritik surat panggilan yang dilayangkan Komisi kepada rekannya satu partai itu.

KPK Ungkap Masih Ada 6 Menteri dan 3 Wakil Menteri Jokowi Belum Lapor LHKPN

Menurut Sutrisno, pencantuman nama Effendi dalam daftar anggota dewan yang diperiksa pada hari kedua, merupakan bentuk dari buruknya sistem administrasi.

"Mereka itu adalah lembaga yang menangani extra ordinary crime, harusnya mereka juga extra ordinary dalam hal administrasi," kata Sutrisno Pangaribuan kepada wartawan di Medan.

Ada Kabar Jaksa Peras Saksi hingga Rp3 Miliar, KPK Bilang Begini

Sutrisno menyebutkan, dengan pemanggilan yang dilakukan oleh KPK terhadap orang yang sudah meninggal, merupakan kesalahan yang harus ditanggapi dengan serius oleh pimpinan KPK. Agar, hal serupa tidak terjadi di kemudian hari.

"Kan sudah secara terbuka, baik lewat media diketahui publik bahwa Effendi Napitupulu sudah meninggal. Ini administrasi KPK harus diperbaiki," tuturnya.

Selain mengkritik pemanggilan terhadap anggota Fraksi PDI Perjuangan yang sudah meninggal, Sutrisno juga mengkritik masuknya panggilan terhadap anggota Fraksi PDI Perjuangan lainnya Siti Aminah Perangin-angin yang duduk sebagai anggota DPRD Sumut sejak November 2016, lalu sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) dari Sudarto Sitepu yang maju di Pilkada Karo.

Menurutnya, pemanggilan terhadap Siti Aminah juga tidak masuk akal sebab, jika pemeriksaan KPK tersebut berkaitan dengan dugaan suap pada pembahasan LKPJ Pemprovsu 2014 dan Interpelasi jilid 3, Siti Aminah dipastikan tidak ikut dalam pembahasan tersebut.

"Saya sudah dapat informasi dari staf fraksi bahwa dia (Siti Aminah) juga dipanggil. Lah, urusannya apa gitu? Sementara, efek dari pemanggilan KPK sangat besar secara psikologis terhadap para anggota dewan yang meskipun berstatus saksi, namun seolah sudah menjadi bagian dari perilaku yang melanggar itu," ungkapnya.

Sutrisno berharap, kondisi seperti ini harus menjadi otokritik bagi KPK selaku institusi yang ditugaskan untuk menuntaskan kejahatan yang bersifat ekstra ordinari tersebut.

Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha yang dikonfirmasi mengenai hal ini mengaku pemanggilan mereka terhadap seluruh anggota dewan didasarkan pada dokumen yang dimiliki penyidik. KPK, menurutnya, akan segera memperbaharui data tersebut.

"Pemanggilan itu berdasarkan dokumen yang dimiliki penyidik yang berkaitan dengan perkara. Nanti, akan update database yang dimiliki," tutur Priharsa Nugraha.

Berdasarkan informasi yang dihimpun VIVA.co.id, penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan 28 saksi pada hari ini. Dalam daftar yang dibagikan Yuyuk, tertera pula bahwa ke-28 saksi ini dimintai keterangan untuk kasus yang menjerat tersangka Muhammad Afan, yang merupakan politikus PDIP ini memang merupakan satu dari tujuh tersangka baru kasus suap ini.

Selain Afan yang merupakan wakil ketua DPRD Sumut 2009-2014, KPK juga menetapkan enam orang anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019, sebagai tersangka. Keenamnya yaitu: Budiman Nadapdap (PDIP), Zulkifli Efendi Siregar (Partai Hanura), Zulkifli Husein (PAN), Bustami(PPP), Guntur Manurung (Partai Demokrat), dan Parluhutan Siregar (PAN).

KPK menyatakan ke-7 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009 - 2014 dan 2014 - 2019 itu diduga menerima hadiah, atau janji dari tersangka Gatot Pujo Nugroho selaku Gubernur Sumatera Utara. Pemberian itu terkait enam hal. Pertama, persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2012.

Kedua, persetujuan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2013. Ketiga, pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014. Keempat, pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2015.

Kelima, persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014. Dan keenam, penolakan penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015.

Atas perbuatannya, ketujuh tersangka diduga telah melanggar Pasal 12 huruf  a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya