Perppu Kebiri Lupakan Hak Korban Kekerasan Seksual

Tolak Kekerasan Seksual
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak sebagai cara untuk menekan tingkat kejahatan seksual yang tarafnya dinilai sudah parah, sehingga kondisinya dianggap pemerintah sudah darurat.

Ada Cambuk, KPPAA Ragu Hukum Kebiri Bisa Diterapkan di Aceh

Namun, Perppu ini dinilai Institute Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki banyak kekurangan. Terutama, tidak berpihak pada kepentingan korban.

"Tidak satu kata pun yang menyebutkan penguatan hak korban, tidak kompensasi tidak juga perbaikan fasilitas peradilan atau penanganan untuk korban, semua fokus terpusat pada pelaku," kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id Jumat, 27 Mei 2016.

Tolak Hukuman Kebiri Kimia, Fadli Zon: Perlu Kajian Mendalam Dulu

Menurutnya, dalam Perppu korban tidak diberikan konsep rehabilitasi, skema penambahan biaya, skema penambahan hak, atau skema pengawasan dan pendampingan. Seolah-olah pemerintah hanya fokus terhadap pelaku kejahatan seksual.

Supriyadi meyakini Perppu ini tidak akan dapat menekan angka kejahatan seksual secara efektif baik kejahatan seksual terhadap anak maupun perempuan di Indonesia. Ini disebabkan, tidak ada kajian, analisis, serta evaluasi terkait penerapan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 sehubungan dengan efek jera yang ingin ditimbulkan dan persoalan kejahatan seksual terhadap anak. 

Curhat Kakak Aris Sang Predator Anak: Adik Saya Setengah Waras

Selain itu, ICJR juga tidak menemukan informasi persoalan peradilan pidana menyangkut, anak yang melatarbelakangi disahkannya Perppu ini, dan tidak jelas pula apa yang dimaksud pemerintah dengan pencegahan komprehensif di Perppu ini, karena pendekatan satu-satunya adalah pendekatan pidana, tidak ada pendekatan lain semisal keluarga, sosial, psikologis dan lingkungan.

Bagi Supriyadi, Perppu ini menunjukkan bahwa politik hukum pidana yang dianut pemerintah tidak berdasarkan kajian dan alasan rasional. Namun pada alasan emosional.

Hal ini mengacu pada pidana penjara minimal mencapai 5 sampai 10 tahun, dan maksimal 15 sampai 20 tahun dengan beberapa syarat. Selain itu, Pemerintah juga memperberat 1/3 dari pidana tersebut jika pelaku merupakan residivis atau mereka yang dipercaya dan seharusnya melindungi anak.

Persoalan pada pemberatan pidana ini adalah hukuman maksimal berdasarkan KUHP adalah 20 tahun penjara. Maka pemberatan hukuman 1/3 tidak lagi bisa diterapkan jika hakim memutuskan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Meskipun pelaku memenuhi syarat untuk diperberat hukumannya.

Begitu juga dengan pidana minimal 10 tahun, karena akan mengunci pengadilan untuk menjatuhkan pidana. "Tidak akan ada lagi pertimbangan tentang berat ringannya perbuatan pelaku dan imbasnya pidana dijatuhkan oleh Pengadilan tidak lagi dilakukan secara proporsional," jelasnya.

Bagi ICJR, Perppu ini menunjukkan pemerintah tidak pernah memiliki basis data cukup terkait angka kekerasan seksual yang dilaporkan, dituntut, dan disidangkan, serta kajian residivis sepanjang mengenai kejahatan seksual. Sehingga perppu dikeluarkan tanpa ada basis kajian mengenai cost benefit analysis yang seharusnya menjadi syarat utama kebijakan kriminal.

Masalah lainnya adalah mengenai biaya pada pemasangan cip dan kebiri kimia. "Berapa biaya yang akan dikeluarkan pemerintah? Dalam Perppu telah dijelaskan bahwa dalam putusan hakim akan dipastikan berapa lama kebiri dilakukan," katanya.

Skema ini mensyaratkan pemerintah harus menganggarkan biaya besar untuk melakukan penyuntikan. Berdasarkan catatan ICJR dari pengalaman beberapa negara, suntikan kebiri harus diberikan secara rutin selama 2 minggu sekali. 

"Maka apabila terpidana dijatuhi pidana minimal saja dalam Pasal 81, maka akan ada biaya minimal 240 kali suntikan. Atau dengan skema 2 tahun pasca pidana pokok maka akan ada tambahan sekitar 48 suntikan."

Sementara terkait pemasangan cip, tidak dijelaskan cara kerja cip itu sehingga sulit memperkirakan biaya yang akan dibutuhkan untuk teknologi dan operatornya.

Persoalan ini juga membuka peluang terjadinya korupsi di dalam sistem peradilan pidana, karena persoalan penegakkan hukum yang lebih krusial untuk diatur justru tidak ditemukan pengaturannya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya