Mereka Teguh Merawat Tradisi Leluhur

Karolina, perajin kain songket Flores. Perempuan asal Manggarai Barat ini terlatih membuat songket sejak kecil. Kini ia mengeluh sedikit anak muda yang mau membuat songket.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Harry Siswoyo

VIVA.co.id – Namanya Karolina Andus, usianya baru 40 tahun. Beberapa helai rambutnya sudah menyembul uban putih. Sembari duduk dengan kaki berselonjor, siang itu perempuan Desa Ngancar Lembor Manggarai Barat ini terlihat sibuk dengan gulungan benang.

Daftar 11 Hotel Mewah di Labuan Bajo yang Langgar Aturan Bangunan

"Ini kami panggil namanya klose. Kalau kalian menyebutnya benang," kata Karolina menunjukkan gulungan benang hitam di sebuah gelondongan kayu.

Jari jemari Karolina terlihat piawai. Songket kain setengah jadi, sudah terikat sedemikian rupa di Donging, alat rajut songket tradisional orang Manggarai Barat.

Mantap! Wae Rebo Juara Anugerah Desa Wisata 2021

Berulang-ulang, Karolina menarik kayu panjang sekira 60 sentimeter di Donging, lalu merapikannya kembali dengan kayu berbentuk sisir di ujung Donging. Perlahan, benang-benang hitam itu pun berbaris sejajar dan membentuk bentangan kain.

"Satu songket berukuran besar (70 cm x 4 meter), biasanya sebulan dikerjakan. Memang lama, tapi inilah songket karya kami," ujar Karolina.

Dua Warga Italia Terdakwa Korupsi Rp1,3 Triliun di NTT Divonis Bebas

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/26/5746e36d7715d-donging-alat-tradisional-orang-flores-untuk-menenun-songket_663_382.jpg

FOTO: Donging, alat tradisional orang Flores untuk menenun songket. Jenis kayu yang dipakai alat ini adalah kayu Bumung dan memang apik kalau digunakan untuk mengayam benang.

Songket Flores sepintas serupa dengan songket di daerah lain. Proses pembuatannya juga mirip dengan beberapa daerah. Namun apa pun itu, bukan itu soalnya.

Karolina, sudah menjadi bagian penjaga tradisi. Kepiawaiannya membuat songket sudah didapatnya sejak kecil karena diajarkan orangtuanya. "Dulu setiap orang Manggarai pasti bisa menenun. Sebabnya kain itu untuk baju sehari-hari atau kebutuhan adat. Kalau tidak bisa menenun, berarti tak berbaju orang itu," kata Karolina sembari tertawa.

Kini, Karolina hanya tetap berharap agar kerajinan songket Flores, tidak cuma dikuasai oleh generasi tua. Sebab hanya dengan regenerasi, songket Flores akan tetap abadi dan bisa dibuat oleh siapa pun yang ada di Flores. “Di sekolah tidak ada yang mengajarkan songket. Ini cukup disesali. Anak-anak muda nanti bisa tidak tahu lagi bagaimana menenun,” katanya.

Gambus Gunung

"Konradus Jelado, itu nama saya. Tapi kini orang memanggil saya dengan nama Gambus," ujar pria berambut putih berusia hampir setengah abad ini. Saat ditemui VIVA.co.id, ia tengah menenteng sebuah tas dari bambu, lengkap dengan dua labu tempat air tuak dan sebuah bambu panjang untuk air nira pembuat gula merah.

Siang terik itu, Konradus kebetulan diundang Bupati Manggarai Barat untuk menampilkan tarian khas Manggarai Barat dalam acara Tour de Flores.

Nama Gambus yang disandang Konradus, bukan tanpa alasan. Maklum, pria berbadan tambun dengan kulit cokelat ini memang piawai bermain gambus.

Ya gambus, gitar mini yang ditentengnya itu memang membuat namanya populer. "Ini gitar tidak mengenal tangga nada atau accord. Memainkannya hanya dengan feeling," ujar Konradus sembari mempraktikkan kepiawaiannya.

Harus diakui, nada yang keluar dari gitar bersenar tujuh dengan tali nilon itu memang merdu. Lagu daerah dan rock pun bisa ditampilkan Konradus.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/26/5746e489f0eb7-konradus-jelado-pemain-alat-musik-gambus-tradisional-manggarai-barat_663_382.jpg

FOTO: Konradus Jelado, pemain gambus tradisional Manggarai Barat menunjukkan gitar uniknya.

Cerita Konradus, gambus merupakan seni tradisi yang dahulunya dibawa oleh pelaut dari Minangkabau Sumatera Barat dan Bugis Makassar. Dahulunya, gambus dipergunakan untuk penghibur pelaut dalam perjalanan.

Akulturasi budaya pun terjadi. Gambus akhirnya tidak lagi dimainkan oleh para pelaut kuno. Ia sudah menjadi musik pegunungan yang dimainkan oleh orang-orang gunung di Flores.

"Jadi dari cuma pengantar tidur di kapal, kini gambus sudah menjadi musik orang gunung. Ia tercipta untuk menghibur. Bahkan kadang juga bisa untuk memikat wanita," kata Konradus dengan mata berbinar-binar.

Aura semangat Konradus bercerita soal alat musik kuno, harus diakui memang menggairahkan. Tanpa perlu ditanya, lelaki yang dahulunya mantan pemain Caci, yakni acara adat berupa baku pukul dengan cambuk dari kulit kerbau, bercerita mengalir soal budaya.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/26/5746e58656acc-gitar-gambus-tradisional-warga-di-manggarai-barat-nusa-tenggara-timur_663_382.jpg

FOTO: Gitar gambus tradisional warga di Manggarai Barat

"Saya ingat perkataan bapak saya, Konradus, saya tidak akan kasih tanah atau sawah untuk kamu kalau tidak mengerti budaya. Sebab itu, sejak kelas 2 SD, saya belajar keras soal budaya. Dan kini justru saya mencintainya," kata Konradus.

Ya..Karolina dan Konradus telah menjadi penjaga kukuh tradisi leluhur. Sikap dan semangat mereka, seharusnya bisa menjadi alasan untuk tetap mencintai tradisi leluhur. Lalu, sudahkan anda merawat tradisi dan budaya leluhur?

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya