Pasal Pemerkosaan pada Revisi KUHP Dikritisi

Ilustrasi hukum
Sumber :
  • http://sukatulis.wordpress.com

VIVA.co.id – Buku kedua rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai memuat sejumlah pasal-pasal pidana bermasalah, salah satunya terkait pasal perkosaan atau pemerkosaan.

Guru Besar Pidana Unej: Secara Sosiologis, KUHP Lama Tak Lagi Cocok dengan RI

Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan mengatakan, meski mengapresiasi penyempurnaan pasal di rancangan KUHP tersebut, tapi ada beberapa hal yang perlu dikritisi.

Misalnya, pasal 491 hingga 499, mengatur bahwa tindakan perkosaan atau pemerkosaan tak hanya terkait penetrasi organ intim pria ke perempuan, tetapi termasuk juga ke bagian lain dalam tubuh perempuan.

Akademisi UI: Kita Butuh KUHP Buatan Bangsa Sendiri

Untuk pasal tertentu, ada beberapa ruang penyempurnaan yang dilakukan DPR, misal berkaitan dengan perkosaan atau pemerkosaan. “Ada beberapa hal yang kami apresiasi dalam draf itu yang sudah mengatur penetrasi seksual," kata Choky di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 19 Mei 2016. 

Akan tetapi, belum ada pasal yang mengatur soal bagaimana menindak pelaku yang masih dalam satu keluarga dan pelaku perkosaan atau pemerkosaan yang masih menganggap hanya dilakukan laki-laki.

Dewan Pers Beberkan Pasal yang Ancam Karya Jurnalistik di RUU KUHP

"Aturan itu melegitimasi bahwa pelakunya adalah laki-laki dan tidak mungkin bahwa pelaku itu perempuan. Kalau laki-laki korban lapor, khawatirnya akan dibilang juga menikmati," ujar dia.

Terkait ancaman pidana, ada juga beberapa hal yang menurut Choky, penegakan hukumnya belum menggunakan ancaman pidana dengan baik. Alasannya penegakan hukum belum memaksimalkan hukuman rendah dengan efek jera yang tinggi.

"Itu tidak ada (efek jera tinggi). Contoh di KUHP pasal perkosaan hukumannya maksimum 12 tahun. Tapi, rata-rata hakim hanya memutus 5-6 tahun. Pertanyaannya kalau hukuman dinaikkan, apakah hakim akan memutus dengan hukuman maksimum?" ujar dia.

Dia menambahkan, "Jadi, sekarang bagaimana penegak hukum bisa meningkatkan kualitas penindakan, sehingga efek jera bisa didapatkan. Efek jera itu akan terjadi ketika ancaman hukuman pidananya minim tapi penegakan hukumnya massif."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya