Suku Anak Dalam dan Petani Jambi Jalan Kaki ke Istana Negara

Suku Anak Dalam dan Petani Jambi menggelar aksi jalan kaki
Sumber :
  • Serikat Tani Nasional

VIVA.co.id – Setelah mengawali Aksi Jalan Kaki pada 17 Maret lalu dari kantor Gubernur Jambi. Kini, memasuki hari kedelapan, Suku Anak Dalam dan petani di Jambi telah mencapai Kantor Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin.

Kisah Warga Pedalaman Jambi Mengadu ke Pangeran Charles

Langkah mereka masih jauh dari tujuannya, Istana Negara. Namun, harapan mereka menemui Presiden Joko Widodo membuat jarak jadi tak terasa. 

"Setelah beristirahat seharian kemarin di Kantor Kecamatan Bayung Lencir kab. Musi Banyuasin, sembari menunggu pakaian kering karena basah akibat hujan, hari ini (Kamis, 24 Maret 2016) pukul 08.20 WIB, diawali dengan doa bersama, petani memulai kembali perjalanannya," ujar Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP STN) Ahmad Rifai, saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 24 Maret 2016.

18 Tahun Tanah Diduduki, Warga Serbu Perusahaan Sawit

Walaupun cuaca sedikit gerimis, langkah petani Jambi dan Suku Anak Dalam tak surut. "Pagi ini enam orang peserta aksi jalan kaki harus dipulangkan karena demam tinggi dan harus dirawat," ucap Rifai lagi.

Rifai menjelaskan, aksi ini digelar untuk menuntut Presiden agar mengimplementasikan pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria secara menyeluruh.

Supriyanto, Anak Rimba Jambi yang Ingin Jadi Polisi

"Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk konsisten melaksanakan pasal 33 UUD 1945, dan UUPA 1960," ungkap Rifai.

Sekitar 215 orang yang terlibat dalam aksi jalan kaki ini, merupakan perwakilan Suku Anak Dalam (SAD), petani dusun Mekar Jaya di Sarolangun, petani Kunangan Jaya I dan II di Batanghari, dan petani Tanjung Jabung Timur. Mereka merasa terdesak akibat konflik agraria di Jambi, yang sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa kepastian. Kondisi ini membuat petani dan Suku Anak Dalam yang sudah tinggal di kawasan itu dari masa leluhur mereka, semakin tersingkirkan.

"Konflik agraria yang dialami SAD sudah sejak 1987. Konflik agraria petani Kunangan Jaya I dan II sudah sejak tahun 1970-an. Sedangkan konflik agraria yang dialami petani Mekar Jaya terjadi sejak 1990-an," tutur Rifai.

Untuk menyelesaikan ini, berbagai jalan sudah ditempuh para petani agar konflik itu bisa selesai. Mulai dari negosiasi, unjuk rasa, hingga aksi pendudukan. Namun, tetap saja, penyelesaian tuntas atas kasus konflik agraria tak kunjung didapatkan.

Hal ini mendorong petani ke Jakarta, tempat dimana para pemangku kebijakan tertinggi di Republik ini berada. Petani berencana mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), DPR RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), dan Istana Negara.

Merujuk pada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 terjadi 252 kasus konflik agraria di Indonesia, yang menyeret 108.714 keluarga. Jika diakumulasi dalam satu dekade terakhir, terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektare yang melibatkan 1.085.817 keluarga. 

"Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia," ujarnya.

Tak hanya pada Presiden, petani juga menuntut Menteri KLH segera merealisasikan Surat Keputusan Pencadangan HTR di Dusun Kunangan Jaya I dan II dan Mekar Jaya, sesuai surat Menhut RI pada 30 Januari 2013, surat usulan HTR Bupati Batanghari 10 Desember 2014, dan surat Bupati Sarolangun pada 22 Oktober 2014.

Selain itu, meminta Menteri KLH meninjau ulang penetapan Taman Nasional Berbak, dengan mengembalikan tanah dan perkampungan warga yang diserobot Taman Nasional Berbak.

Kemudian, juga menuntut Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mengembalikan tanah ulayat Suku Anak Dalam 113 seluas 3550 hektare sesuai surat Instruksi Gubernur Jambi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya