Pekerja Perempuan di Media Masih Alami Diskriminasi

Aksi Damai Peringati Hari Perempuan Internasional
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Hari Perempuan Internasional jatuh pada 8 Maret 2016. Pada momen ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat masih adanya diskriminasi terhadap pekerja perempuan di media massa baik dalam hal upah maupun kesetaraan kesempatan bekerja.

Prajurit TNI Rayakan Hari Perempuan Internasional di Libanon

“Padahal tugas dan tanggung jawab semua, termasuk jurnalis perempuan sama di ruang redaksi,” kata Pengurus Nasional  AJI Indonesia bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal, Endah Lismartini sebagaimana rilis pers yang diterima VIVA.co.id, Rabu 9 Maret 2016.

Endah mencontohkan, perusahaan media biasanya menempatkan pekerja perempuan dengan status lajang, meskipun pada realitasnya mereka menikah dan memiliki anak. Dengan status karyawan lajang itu maka akan berimplikasi dalam pemenuhan hak fasilitas tunjangan kerja dan asuransi kesehatan untuk anak dan suami.

Kepala Daerah Perempuan Harus Berani Tak Patriarkis

Diskriminasi ini terjadi karena banyak media hanya menggunakan standar Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal pengupahan. AJI menilai, langkah tersebut kurang tepat, sebab dasar yang lebih layak seharusnya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Realitasnya hanya sedikit media yang menjalankan amanat Konstitusi ini," kata Endah.

5 Kontroversi Chandrika Chika, dari Hubungannya dengan Thariq Halilintar hingga Tersandung Narkoba

Selain itu, hak mendapatkan fasilitas seperti yang diamanatkan UU Kesehatan juga belum tersedia antara lain penyediaan ruang laktasi bagi karyawan perempuan yang sedang menyusui. Bahkan hal ini tidak dipenuhi oleh media-media arus utama.
 
Padahal dari riset Kondisi Layak Kerja Jurnalis Perempuan yang dilakukan AJI pada 2012, kesehatan anak tidak hanya menjadi kebutuhan pekerja perempuan tapi menjadi kebutuhan bersama. Sayangnya perhatian media belum cukup berarti.
 
Penelitian terakhir yang dilakukan AJI pada sebuah kantor pengelola radio pemerintah masih menunjukkan ketimpangan yang cukup besar. Ketimpangan terjadi tak hanya pada jumlah karyawan laki-laki yang lebih banyak dari jumlah perempuan yang mana 45 persen pegawai adalah perempuan dan 55 persen adalah laki-laki. 

Penetapan status kontrak yang berdampak pada kesempatan jenjang karier yang terbatas juga terjadi pada perempuan.

"Begitu juga dalam posisi di struktural dari 900 jabatan struktural, perempuan mengisi sekitar 300 jabatan struktural, dominan pada level administratif . Jika merujuk pada program nasional keterwakilan perempuan, kondisi ini berada sedikit lebih tinggi di atas batas minimum (critical mass) keterwakilan perempuan di wilayah politik," katanya.

Sementara itu, isu pelecehan seksual di tempat kerja juga masih ditemui dalam setahun terakhir. Perusahaan belum memiliki kebijakan dan saluran khusus pengaduan intimidasi dan pelecehan seksual di tempat kerja.

Pengaduan tindakan pelecehan seksual biasanya langsung kepada atasan. Kondisi itu dianggap menyulitkan ketika pelaku pelecehan atau intimidasi adalah atasan sendiri. Selain itu, jurnalis perempuan berpotensi mengalami pelecehan seksual pada saat melakukan peliputan.

AJI meminta perusahaan media karena itu memperhatikan kembali Kebijakan Nasional Pengarusutamaan Gender di Indonesia yang dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Tahun 2000, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Inpres ini dilatarbelakangi pandangan perlunya upaya untuk meningkatkan peran dan kualitas perempuan dalam pembangunan. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya