Buruh Suarakan Nawaduka Perempuan Indonesia

Unjuk rasa memperingati Hari Perempuan Internasional di Depan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Selasa 8 Maret 2016.
Sumber :
  • Ade Alfath/VIVA.co.id

VIVA.co.id - Ribuan buruh yang didominasi kaum perempuan menggelar unjuk rasa di depan Kementerian Pemberdayaan Anak dan Perempuan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 8 Maret 2016. Mereka menggelar aksi untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret.

Perempuan Indonesia Terima Penghargaan di New York
Kiki, koordinator aksi yang berasal dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia, mengatakan, eksploitasi kelas dan penindasan seksual atas perempuan masih berlaku hingga saat ini. Bahkan, untuk menunjukkan keprihatinannya, ribuan buruh perempuan menyuarakan Nawaduka (sembilan duka) Perempuan Indonesia sebagai sindiran atas program Nawacita Presiden Joko Widodo.
 
Saran Dian Pelangi untuk Perempuan Indonesia
"Kedudukan perempuan makin melemah dan dijadikan ajang eksploitasi dan pencurian nilai lebih secara besar-besaran bagi pemilik modal," ujar Kiki di sela-sela unjuk rasa.
 
Hari Perempuan Internasional Diharap Jadi Cambuk Pemerintah
Nawa Duka Perempuan Indonesia ini berisi duka buruh perempuan, duka demokrasi dan pelanggaran HAM, kekerasan seksual, serta diskriminasi. 
 
Selain itu, duka pemiskinan dan kebijakan pasar bebas, duka perempuan dalam mengakses kesehatan, duka kriminalisasi gerakan rakyat, serta duka budaya kekerasan dan militerisme. Terakhir, pendidikan mahal, tidak bermutu, serta tidak berperspektif gender. 
 
"Berdasarkan hal itu, kami Parade Juang Perempuan Indonesia menuntut cabut seluruh peraturan perundangan yang diskriminatif dan tidak berpihak kepada rakyat," jelasnya.
 
Selain itu, demonstran juga menuntut agar setiap perusahaan memberikan cuti hamil selama 6 bulan, menyediakan pojok ASI, memberikan kemudahan untuk mengakses kesehatan, dan menghapus budaya kekerasan.
 
Sementara di depan Istana Negara, aktivis dari Solidaritas Perempuan (SP), juga menggelar unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional. Dalam aksinya, mereka meminta pemerintah memperhatikan penindasan serta diskriminasi terhadap perempuan. 
 
"Di dalam berbagai konflik lahan yang terjadi, perempuan menjadi korban yang mengalami penindasan berlapis, termasuk intimidasi dan ancaman kekerasan bahkan kriminalisasi," ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Puspa Dewy, dalam orasinya.
 
Penindasan ini, kata Puspa, semakin diperkuat dengan arah kebijakan dan pembangunan negara yang memfasilitasi kepentingan ekonomi global. Hal ini didominasi oleh kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional. 
 
Menurut Puspa, hilangnya sumber kehidupan perempuan juga mendorong mereka mencari alternatif pekerjaan lain, sehingga terpaksa berimigrasi ke kota besar atau luar negeri. Berdasarkan catatan penanganan kasus di SP, dalam empat tahun terakhir, pada saat menjelang keberangkatan buruh migran, perempuan paling sering mengalami masalah terjerat hutang, pemberian informasi yang keliru oleh sponsor atau perekrut, dan penyekapan.
 
"Lemahnya aspek perlindungan buruh migran telah menciptakan berbagai permasalahan penindasan terhadap buruh perempuan buruh migran. Mereka mengalami kekerasan bukan hanya karena mereka perempuan yang hidup di dalam budaya patriarki, tapi juga karena lemahnya sistem perlindungan negara," jelas Puspa. (one)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya