Sisa Trauma Perempuan Korban Tentara Belanda

Tentara Belanda di Indonesia pada masa kemerdekaan
Sumber :
  • VIVA.co.id/kaskus

VIVA.co.id - T, perempuan warga Dusun Purwosari, Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, masih mengingat jelas peristiwa kelabu pada 19 Februari 1949.

Lima Fakta Mengejutkan di Balik Penjajahan Belanda

Saat itu, dia masih berusia 19 tahun, ketika lima serdadu belanda menyeretnya ke dalam kamar rumahnya, dan memperkosa di bawah todongan senjata. Peristiwa itu membekas kuat di benaknya dan menyisakan trauma hingga saat ini.

“Saat itu sekitar pukul 16.00, cuacanya mendung dan dingin seperti ini,” kata T, nenek dari beberapa cucu dan cicit di kediamannya, Sabtu 6 Februari 2016.
Arema Tiba di Malang, Polisi Imbau Warga Tetap di Rumah

Nenek kelahiran 1930 itu berbicara dalam bahasa Jawa halus, jalannya membungkuk, ada cucunya atau tongkat yang membantu ketika berjalan.
Alasan Menlu Belanda ke Makam Korban Pembantaian Rawagede

Namun, cara bertuturnya masih tegas dan jelas, ingatannya tajam, tentang nama-nama anak, cucu dan cicitnya, tak terkecuali peristiwa kelam itu.

“Banyak suara tembakan sore itu, saya bersembunyi di bawah amben (tempat tidur dari bambu). Suami saya lari bersembunyi, seperti banyak pria lain di kampung ini. Orang laki-laki kalau tak sembunyi pasti ditembak,” kata T, wanita berusia 86 tahun itu.

Kala itu, T ditemani seorang kemenakannya, S. Dengan gemetar, T dan S harus keluar dari persembunyianya ketika beberapa serdadu berteriak dan menembakkan senjata di halaman rumah mereka.

T yang saat itu mengenakan stagen khusus di perutnya. Istri seorang petani itu, baru saja mengalami keguguran anak pertamanya.

“Mereka langsung menodong pistol ke kepala saya dan menyeret ke kamar serta memaksa membuka bengkung. Kemudian, memperkosa saya. Mereka ada lima, dan senjatanya selalu ditodongkan ke kepala saya," tuturnya.

Mata T, berkaca-kaca. Suaranya sedikit bergetar saat menuturkan hal itu. Dia tak menyangka, masih bisa hidup setelah peristiwa itu dan mampu melihat cucu hingga cicitnya.

Saat itu, ketika pejuang bersenjatakan bambu runcing, pistol, dan senapan Belanda dipandang sangat menakutkan bagi warga pribumi dan pejuang.

“Saya ingat samar-samar wajahnya. Saya hanya bisa gemetar dan menuruti mereka. Saya beruntung bisa hidup sampai sekarang dan melihat cucu saya," urainya.

Kemenakannya saat itu berusia sembilan tahun, ditodong senjata di depan pintu. Dia tak boleh masuk dan hanya mampu melihat T masuk kamar di bawah ancaman Belanda. 

Ketika suaminya pulang, T pun menuturkan semua kejadian tersebut. Setelah itu, T selalu takut ketika berada di rumah sendiri atau mendengar suara ledakan. Hingga saat ini, T masih takut ketika mendengar suara petasan.

Kisah itu baru didengar kembali oleh cucu dan anaknya, puluhan tahun berselang, ketika rombongan dari Belanda tiba untuk mengadvokasi nasibnya di pengadilan Den Haag pada 2014.

T yang menanggung malu dan trauma memilih untuk menutup rapat peristiwa itu dari anak dan cucunya, hingga 2014. Dibutuhkan tiga kali sesi wawancara di waktu yang berbeda agar T menuturkan kisah itu secara rinci.

“Sekarang, mungkin mereka semua sudah meninggal. Bagi saya, yang penting sehat dan bisa melihat cucu saya, gembira itu sudah berkah luar biasa,” imbuhnya. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya