Ketika Hukuman Mati jadi Alternatif

Peti jenazah untuk para napi yang dihukum mati di Pulau Nusakambangan beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

VIVA.co.id - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Supriyadi Widodo Eddyono merespons keputusan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah yang menyepakati ketentuan hukuman mati dalam KUHP sebagai hukum khusus yang bersifat alternatif.

"Jadi bisa di-cancel (hukuman mati) dengan syarat tertentu. Semua fraksi DPR sepakat. Jadi mereka anggap hukuman mati masih layak. Bagi kita, oke itu adalah titik temu antara yang menolak dan menyetujui (hukuman mati). Itu dianggap sebagai jalan tengah," kata Supriyadi saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 22 Januari 2016.

Ia melanjutkan adanya titik temu antara yang menyetujui hukuman mati dan yang menolak ternyata menimbulkan implikasi. Implikasinya pemerintah mengusulkan daftar tunggu 10 tahun untuk menguji apakah calon terpidana mati berkelakuan baik dan bertaubat atau tidak.

"Jadi ini dampak dari masih diberlakukannya hukuman mati. Problemnya jangka waktu 10 tahun itu lama sekali untuk memastikan orang bisa dieksekusi atau tidak. Serba salah salah juga apakah harus menunggu dua, tiga, atau lima tahun (untuk menguji terpidana layak dihukum mati). Karena kita menolak hukuman mati," ujar Supriyadi.

Menurutnya, atas implikasi masih adanya aturan ini, maka ia mengharapkan agar hukuman mati sebagai alternatif harus digunakan semaksimal mungkin. Tujuannya untuk meminimalisasi eksekusi mati. Ketika aturan ini digunakan semaksimal mungkin maka mereka yang terancam hukuman mati bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hukuman seumur hidup.

"Implikasi jalan tengahnya memastikan prosedurnya (turunan aturan dari KUHP) bagus. Salah satunya soal daftar tunggu hukuman mati yang terlalu lama. Jangankan lima tahun, kita bisa melihat perubahan sikap orang yang mau dihukum hanya dengan dua tahun. Sehingga dipastikan dipersulit untuk hukuman mati," kata Supriyadi.

Supriyadi menjelaskan untuk memaksimalkan aturan dalam KUHP ini, jangka waktu penilaian untuk menguji apakah seseorang layak atau tidak dihukum mati harus diatur lebih 'fair' di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Upaya lainnya untuk memaksimalkan aturan dalam KUHP ini, jumlah tindak pidana yang bisa diancam hukuman mati harus dikurangi.

"Dalam KUHP saat ini ada 15 tindak pidana (yang bisa diancam hukuman mati), lalu dalam Rancangan KUHP ada 26 tindak pidana. Kita maunya jangan 26 tapi makin dipersempitlah. Jadi (tindak pidananya) sangat spesifik dan sangat khusus," ujarnya.

1 Agustus 2016, Jenazah Seck Osmane Dikirim ke Nigeria
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto.

Wiranto: Tidak Perlu Ada Evaluasi Hukuman Mati

"Tekanan dari mana pun, kita punya yurisdiksi hukum nasional."

img_title
VIVA.co.id
2 Agustus 2016