Sejarah Munculnya Sengketa Wilayah Indonesia-Timor Leste

Sumber :

VIVA.co.id - Keluarnya Timor Timur dari bagian negara Indonesia menjadi negara sendiri yakni Timor Leste, dinilai awal atau cikal bakal munculnya sengketa wilayah perbatasan antara kedua negara.

Sengketa Wilayah, Filipina Sepakat 'Duduk Bersama' China

Direktur Kewilayahan Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri, R Budiono Subambang, mengakui bahwa masalah sengketa di wilayah perbatasan tersebut telah lama ada sejak kedua negara berpisah.

"Kita tahu bahwa awalnya Timor Timur jadi bagian Indonesia. Setelah pisah kan mereka punya wilayah sendiri, sehingga meninggalkan permasalahan batas negara," kata Budiono di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara 7, Jakarta Pusat, belum lama ini.

RI Ingin Teruskan Dialog dengan RRC Soal Laut China Selatan

Masalah timbul karena ada perbedaan persepsi antarbatas negara yang ditetapkan oleh negara penjajah terdahulu. Batas negara Timor Leste dengan Indonesia ditetapkan oleh Portugal. Sedangkan sebaliknya, batas negara Indonesia dengan Timor Leste ditetapkan Belanda.

Menurut Budiono, sejak tahun 2000 Indonesia juga sudah mencoba untuk melakukan negosiasi awal terkait garis batas antarnegara dengan menggunakan dasar hukum yang disepakati bersama. Dasar hukum tersebut mengacu ke hukum internasional yakni Traktat (Treaty) dan Persetujuan (Agreement) tahun 1904.

ASEAN Tak Keluarkan Sikap Bersama soal PCA

Alasan menggunakan hukum internasional karena Timor Leste sebagai negara yang berdaulat tidak bisa menggunakan hukum nasional Indonesia ataupun hukum adat. Sebaliknya, Indonesia juga tidak bisa menggunakan hukum nasional Timor Leste.

"Jadi satu-satunya jalan menggunakan hukum internasional. Ini Treaty yang disepakati Indonesia dan Portugal. Tugasnya Indonesia dan Timor Leste menegaskan kembali mana wilayah Belanda dan mana wilayah Portugal," terang dia.

Usai menempuh negosiasi yang cukup panjang, kata Budiono, tersisa dua segmen yang belum dituntaskan yakni di Noel Besi dengan Citrana dan Bijael Sunan dengan Oben.

Menurut Budiono, untuk Noel Besi, masalahnya belum ada kata sepakat soal intrepretasi hukum Treaty maupun di lapangan, karenanya masih dinegosiasikan. Selain masalah itu, ada juga masalah adat yaitu garis batas negara yang disengketakan terdapat sebuah makam adat.

"Ketakutan masyarakat, kalau ada kesepakatan dikhawatirkan justru membuat masyarakat tidak bebas menyeberang antar dua negara tersebut. Masyarakat juga khawatir, kesepakatan itu bisa menghambat kehidupan sosial dan ekonomi," ujar dia.

Sedangkan di Bijael Sunan-Oben, kendala utamanya, kata Budiono, justru masyarakat setempat yang tidak sepenuhnya sepakat dengan Pemerintah Pusat jika menggunakan Treaty. Masyarakat, kata dia, menginginkan kesepakatan itu terjadi dengan kemauan antarmasyarakat kedua negara sendiri.

"Kedua segmen ini masih dalam proses negosiasi. Seharusnya kedua wilayah ini tidak boleh dibangun. Kedua negara tidak boleh melakukan tindakan sepihak. Survei saja harus dua negara hadir, sama halnya kalau mau melakukan tindakan. Ini menjadi status quo sampai batas disepakati kedua belah pihak," ungkap dia.

Budiono menambahkan, kasus yang sama sebenarnya pernah terjadi yakni pada tahun 2010 dan 2012 silam di tempat yang sama. Pada tahun 2010, Timor Leste membangun kantor logistik, sedangkan pada tahun 2012 membangun kantor imigrasi.

"Itu kita bongkar, karena kan wilayahnya belum selesai sengketa. Jadi seharusnya jangan ada kegiatan. Sebelum dikasih nota protes sudah berhenti," kata dia.

Untuk itu, terkait dengan masalah di dua segmen perbatasan kedua negara yang kembali memanas saat ini, kata Budiono, jika memang diperlukan Indonesia akan melayangkan nota protes ke Timor Leste. Hanya saja, dia mengingatkan kepada Kementerian terkait untuk mengkaji dan mengawal nota protes tersebut agar tak dianggap "angin lalu".

Adu Domba

Deputi VII Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur, Agus Barnas, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah atau konflik di perbatasan kedua negara tersebut. Alasannya, di Noel Besi dengan Citrana banyak masyarakat yang bersaudara meski terpisah batas wilayah antarnegara.

"Di Timor Leste, memang ada tempat steril yang tidak boleh dibangun bangunan, tepatnya di Noel Besi itu. Ada warga yang berpuluh-puluh tahun di sana (Noel Besi), tiba-tiba saat pisah negara terpotong begitu saja. Sebenarnya kami tidak ada masalah dengan Timor Leste, mungkin ada yang coba mengadu domba," terang Agus.

Namun, memang Agus tidak menampik, jika ada perbedaan keinginan soal kesepakatan pengelolaan perbatasan Indonesa dengan Timor Leste. Untuk di Noel Besi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia menginginkan Noel Besi sebagai wilayah sesuai toponimi atau asal usul nama tempat.

Sebaliknya, Timor Leste menginginkan Sungai Nono Nomna berdasarkan Azimuth atau besar sudut antara utara magnetis (nol derajat) dengan titik/sasaran yang dituju atau disebut juga sebagai Sudut Kompas.

Sedangkan, menurut Agus, untuk Bijael Sunan, Desa Manusasi, Kabupaten Miofaffo Barat, Timor Tengah Utara, Indonesia menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara Sungai Miomafu ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966 menyusuri punggung bukit.

Seperti diketahui, Timor Leste membangun bangunan permanen di atas wilayah sengketa dengan Indonesia yang berada di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bangunan permanen yang dibangun seperti kantor pertanian, balai pertemuan, gudang dolog, tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan diperkeras.

Padahal, wilayah tersebut harusnya berstatus steril, tidak boleh dimanfaatkan oleh kedua negara. Akibatnya, wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste kembali memanas. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya