Tukang Tambal Ban Ini Dirikan SLB Gratis

Kadiyono, tukang tambal ban punya SLB
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA.co.id - Kadiyono (46) seorang tukang tambal ban di Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini pantas menjadi panutan. Di tengah ekonomi yang sulit, pria yang kesehariannya bekerja sebagai tukang tambal ban ini mampu mendirikan sekolah luar biasa (SLB) untuk anak-anak berkebutuhan khusus di daerahnya.

Patung Yesus dan Bunda Maria di Gereja Klaten Dirusak

Namanya Yayasan Insan Tiara Bangsa Plus. Sebuah sekolah luar biasa yang beralamat di Dusun Krajan RT 07/ RW 01 Campurejo, Boja. Saban hari, gedung sederhana itu selalu ramai dengan aktivitas belajar anak-anak autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, grahita, tuna wicara, dan tuna rungu.

Meski belum lama berdiri, yayasan yang dirintis Kadiyono sejak 2 Mei 2015 lalu itu penuh dengan cerita pahit. Lantaran tak adanya bantuan pemerintah, Kadiyono rela menyisihkan uang hasil menambal ban untuk mendirikan yayasan anak berkebutuhan khusus ini.

Tips Sukses Jalani Usaha Kecil dari Pengusaha Sepatu

"Saya nambal ban sejak SD usia 8 tahun. Bisa dibilang saya bisa sekolah ya karena tambal ban. Sampai saya merintis SLB ini juga karena tambal ban," ujar Kadiyono saat ditemui VIVA co.id di Yayasan SLB di Kecamatan Boja Kendal, Rabu, 25 November 2015.

Kadiyono mengatakan, ia mendirikan SLB gratis ini atas dasar panggilan kemanusiaan. Kadiyono memang terbilang nekat mendirikan yayasan ini. Liku-liku di hadapan mata dan tidak adanya dukungan dari orang sekitarnya tetap tak menyurutkan niat menempuh perjuangan mulianya itu.

Kisah Sukses Pria Probolinggo, Pilih Berdagang daripada PNS

"Anak berkebutuhan khusus ini kan jarang sekali mendapat perhatian orang. Bahkan banyak yang dicampakkan. Padahal mereka juga punya hak yang sama memperoleh pendidikan," ujar bapak tiga anak ini.

Untuk membiayai segala kebutuhan pendidikan yang ia kelola, Kadiyono harus merelakan waktunya untuk mengajar dan melakoni pekerjaan tambal ban di gang tak jauh dari rumahnya. Dalam sehari, Kadiyono paling tidak harus menyisakan minimal 10 persen penghasilan dari tambal ban untuk disumbangkan ke yayasan. Sisanya, untuk membiayai hidup keluarga sehari-hari.

"Ya istilahnya tambal ban memback-up. Misalkan sehari dapat Rp50 ribu sampai Rp60 ribu, saya masukkan sebagian ke kotak untuk membiayai SLB ini," ujarnya menambahkan.

Saat ini, tercatat ada 23 siswa berkebutuhan khusus yang belajar di SLB rintisan Kadiyono dibantu tujuh orang guru pengajar. Para siswa ini tak dipatok biaya karena rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu dan yayasan panti asuhan. "Para pengajar ini juga istilahnya ikhlas-ikhlasan dan bisa dibilang tak dibayar. Karena sejak awal saya katakan pada mereka kalau saya mau ajak susah."

Panggilan Hati


Bagi Kadiyono, menjadi seorang pengajar bukan pekerjaan yang semata menjadi sumber penghasilan. Ia nekat mendirikan SLB meskipun tak mendapat imbalan dalam mengurus puluhan anak berkebutuhan khusus ini.

Bagi pria kelahiran Kendal, 16 Maret 1969 ini pahit getir kehidupan bahkan sudah khatam ia rasakan sejak kecil. Hanya modal nekat dan keyakinan tinggi Kadiyono akhirnya mampu mewujudkan impiannya merintis Yayasan SLB Insan Tiara Bangsa Plus. "Saya cuma berbekal keyakinan merintis sekolah kebutuhan khusus ini. Saya juga bukan pegawai negeri sipil, jadi tak punya penghasilan besar," kata Kadiyono.

Selain mengelola dan merintis SLB, Kadiyono memang menjadi guru di SMA PGRI Kendal. Namun rupanya penghasilan dari hasil mengajar itu sangat minim. Sementara sisa waktu ia mengajar di sekolah digunakan untuk melakoni pekerjaan sebagai tukang tambal ban.

Bagi Kadiyono, berdirinya SLB miliknya karena melihat jumlah anak kebutuhan khusus di daerahnya tergolong banyak, tapi mereka justru belajar di sejumlah sekolah umum dan bahkan tidak bersekolah. "Waktu itu saya harus keliling-keliling sekolah dan desa secara 'door to door' (dari pintu ke pintu) menawari anak berkebutuhan khusus ini untuk sekolah. Kita beri pendekatan. Sering juga kita ditolak," ujarnya mengenang.

Namun, mendirikan sekolah tak semudah membalikkan telapak tangan. Kadiyono bahkan harus pontang-panting ke sana kemari untuk menggandeng para pengajar serta donatur. Meskipun hasilnya tak seberapa, namun paling tidak yayasan SLB itu bisa berdiri. "Saya masih ingat betul modal awal mbangun ini hanya Rp8 juta. Herannya, uang di rekening saya itu enggak tahu yang ngasih siapa," kata Kadiyono sambil menunjukkan bukti rekening tabungan miliknya.

Modal itu yang mengawali berdirinya sekolah yang menampung anak-anak autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, grahita, tuna wicara, dan tuna rungu ini. Mereka yang belajar di yayasan ini juga dibebaskan untuk menyumbang iuran semampunya.

Dari 23 siswa yang ada saat ini, jumlah sumbangan tiap bulannya hanya Rp500 ribu. Ada yang memberi Rp20 ribu per bulan ada juga yang memberi Rp50 ribu. Dana tersebut kemudian dikelola sedemikian rupa untuk menunjang sarana dan prasarana untuk kegiatan belajar.

Sedangkan untuk membayar jasa para guru yang ada di yayasan ini, Kadiyono tak pernah mematok jumlahnya. Sejak awal, para guru memang sepakat berjuang bersama untuk mencerdaskan para siswa berkebutuhan khusus ini. "Ini adalah panggilan hati, kami sempurna tapi masih banyak anak yang tidak sempurna. Harapan kita, setelah di sini anak-anak bisa mandiri, melanjutkan sekolah atau bisa bekerja sendiri meski dengan segala keterbatasan, " ujarnya menutup pembicaraan.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya