Pemerintah Dituding Sesat Pikir Soal Aturan Remisi di RKUHP

Jumpa pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP
Sumber :
  • Lilis Khalisotussurur

VIVA.co.id - Aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan ada sejumlah kesesatan pikir pemerintah dalam menyusun aturan remisi pada narapidana khususnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam RKUHP soal pemberian remisi diatur dalam Pasal 58 RKUHP.

Revisi UU Terorisme, Pemerintah Ubah Belasan Pasal

Pasal 58 mengatur soal dimungkinkan adanya perubahan atau penyesuaian putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengajukan permohonan. Permohonan tersebut bisa diajukan oleh narapidana bersangkutan, orangtua narapidana, wali, penasihat hukumnya, jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.

"Ada sejumlah problem empirik soal sesat pikir pemerintah atas pasal ini," ujar Julius dalam konferensi pers soal Fasilitas Baru Narapidana: Perubahan atau Penyesuaian Sanksi Pidana Dalam Pasal 58 RKUHP di Bakoel Koffie, Jakarta, Jumat (30/10).

Ketika Hukuman Mati jadi Alternatif

Ia menjelaskan sesat pikir pertama yaitu persoalan pemberian remisi, hak asimilasi dan pembebasan bersyarat sering disebut sebagai persoalan hak asasi manusia (HAM). Ia membantah persoalan ini sebagai persoalan HAM. Sebabnya makna dari HAM sendiri adalah sesuatu yang telah melekat pada diri seseorang dari sejak lahir, antaranya agama, ras, suku, dan keyakinan.

Sementara, menurutnya pemberian remisi atau penyesuaian maupun perubahan putusan pidana adalah hak yang melekat pada narapidana dengan syarat tertentu. Pemberian remisi tentu tidak diberikan berdasarkan alasan agama, suku, bahasa, dan ras. Sehingga kalau ada pengetatan syarat pemberian remisi hal tersebut tidaklah melanggar HAM.

DPR Ambisius Selesaikan 786 Pasal KUHP

Lalu sesat pikir kedua, pemberian remisi dalam pasal RKUHP tersebut dinilainya bersifat diskriminatif. Sebab di satu sisi penjahat kelas kakap misalnya koruptor bisa saja tiba-tiba mendapatkan remisi dari kementerian hukum dan HAM atas nama HAM. Tapi, di sisi lain pemerintah malah masih melanggengkan adanya aturan hukam mati.

Sesat pikir selanjutnya, pemerintah memiliki watak yang ia tuding kejam lantaran semua orang yang diduga bersalah mendapatkan hukuman penjara. Akibatnya lembaga pemasyarakatan (lapas) tak memiliki cukup kapasitas untuk menampung narapidana yang sangat banyak. Buntutnya pemerintah juga tak sanggup melalukan pembinaan pada para narapidana.

Akibat lapas yang over capacity tersebut, pemerintah malah menjadikan hari-hari besar kalender sebagai momen untuk memberikan remisi pada narapidana sebagai hadiah. Misalnya remisi diberikan saat hari besar keagamaan atau hari libur lainnya.

"Indikator pemberian remisi malah menjadi tidak jelas. Karena itu diperlukan reformasi hukum agar diatur pengetatan tata cara pemberian remisi," ujar Julius.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya