Arsitek KPK: Undang-Undang KPK Sudah Waktunya Direvisi

Romli Atmasasmita
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA.co.id - Pakar hukum Romli Atmasasmita yang juga arsitek Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menegaskan Undang-Undang KPK sudah waktunya direvisi. Alasannya, usia Undang-Undang tersebut sudah 13 tahun.

Soal Revisi UU KPK, Menteri Yasonna: Publik Salah Paham

Kepada VIVA.co.id, Minggu, 11 Oktober 2015 Romli mengatakan, ada lima poin revisi yang menurutnya perlu digarisbawahi.

Pertama, hal yang perlu direvisi adalah soal penyadapan. Menurut Romli, penyadapan perlu diatur lebih jelas agar nanti dalam praktiknya KPK tak mendapatkan persoalan.

"Perlu aturan khusus tentang penyadapan. Siapa yang harus disadap, bagaimana caranya laporan sebelum dan sesudah penyadapan ke pimpinan KPK," kata Romli.

Ia mengatakan perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) dalam penyadapan yang dilakukan komisi antikorupsi tersebut.

Terkait usulan penyadapan pada draf yang mengharuskan KPK meminta izin pengadilan, menurutnya, tak perlu. "Penyadapan ini penting, tanpa izin (enggak apa-apa), tapi harus ada UU KPK baru yang merinci (SOP)," kata Romli.

Poin kedua, Romli merasa perlunya Dewan Pengawas KPK yang berada di luar lembaga dan ditunjuk Presiden secara langsung.

"Enggak usah DPR (yang menunjuk)," ujar Romli.

Romli mengatakan dewan pengawas ini perlu, sebab undang-undang memberikan wewenang luas, bahkan tanpa batas, terhadap KPK. Untuk itulah komisi antikorupsi itu penting untuk diawasi.

Untuk komposisi dewan pengawas, harus independen dan diisi oleh berbagai figur penegak hukum dan akademisi yang kompeten. Romli menyebutkan mantan Jaksa Agung, mantan pejabat Polri dan akademisi yang terpilih bisa menduduki dewan pengawas.

Dia menekankan agar usia dewan pengawas juga patut dipertimbangkan.

"Dewan pengawas ya setidaknya umurnya 60-65, mereka kerjanya kan nggak banyak, kalau komisioner KPK usianya 50-55," usul dia.

Poin ketiga, Romli menekankan penegasan skema kolektif kolegial pimpinan KPK. Hal ini menurutnya harus ditegaskan dalam UU secara rinci.

Selanjutnya, poin keempat soal batasan penanganan kasus oleh KPK. Romli mengatakan ukuran penanganan kasus oleh KPK saat ini adalah kasus dengan potensi nilai kerugian Rp1-50 miliar. Namun ke depan idealnya KPK lebih baik menangani kasus korupsi dengan nilai sekitar Rp30-50 miliar.

Soal kisaran tersebut, Romli berlandasan dari nilai APBN yang sudah mencapai ribuan triliun rupiah. Dari nilai APBN itu, data KPK menunjukkan rata-rata 30 persennya bocor karena korupsi pengadaan barang dan jasa.

Gerindra Curiga Barter Revisi UU KPK dan Pengampunan Pajak

Mengutip data KPK, Romli mengatakan 75-90 persen kasus korupsi berasal dari pengadaan barang dan jasa.

"Jadi wajar kalau (tangani) Rp30-50 miliar. Untuk yang ke atas serahkan ke Kepolisian," kata Romli.

Ia berharap dalam UU KPK yang baru, porsi pencegahan korupsi mendapat ruang yang lebih besar. Sumber daya manusia (SDM) KPK yang menurutnya mencapai sekitar 750-an, bisa konsentrasi khusus membidik kasus dengan kisaran Rp30-50 miliar.

"KPK kan juga sepervisi bidang penindakan, tapi sekarang pencegahan (dulu fokusnya)," kata dia.

Terkait dengan usulan perlu adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada KPK, bagi Romli, hal itu tidak diperlukan. Alasannya, dengan adanya SP3 maka akan merepotkan KPK ke depan.

"Cabut saja (SP3), hapus dari UU KPK yang baru, itu membahayakan, mencelakakan," kata dia.

Romli mengatakan komisioner KPK adalah manusia yang tentu tak lepas dari potensi kesalahan dan kekeliruan. Namun demikian, sebaiknya SP3 memang tidak ada di KPK.

"Jadi manusia kan bukan malaikat, berbahaya kalau (SP3) tidak dicabut," ujar Romli. (ase)

Sidang paripurna DPR Bahas RUU Pilkada

Cabut Revisi UU KPK, Demokrat Dekati PKS dan Gerindra

Butuh dukungan pemerintah dan mayoritas partai politik di DPR.

img_title
VIVA.co.id
25 Februari 2016