Kinerja Jaksa Agung dan Jampidsus Dikritik

Ilustrasi Sidang di Pengadilan.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Kerap kalah di sidang praperadilan gugatan kasus tindak pidana korupsi, membuat kinerja bidang pidana khusus Kejaksaan Agung kembali dipertanyakan sejumlah pengamat.

Bantu Tangkap Narapidana, Tunawisma Diganjar US$100 Ribu

Ditambah lagim keberadaan Satgasus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3PTK) tidak optimal dan kinerjanya tidak seheboh ketika diresmikan.

Menurut aktivis Koalisi Masyarakat Antikorupsi, Ray Rangkuti, kinerja Kejagung dalam upaya pemberantasan korupsi maupun pencegahannya saat ini sudah melenceng jauh dari program nawacita Presiden Joko Widodo.

"Jaksa Agung HM Prasetyo, serta Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus telah gagal mengimplementasikan visi misi nawacita Presiden Jokowi dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Kinerja Kejagung bisa dikatakan makin 'mandul'," cetus pendiri Lingkar Madani Indonesia tersebut melalui pernyataan tertulis kepada VIVA.co.id, Sabtu 10 Oktober 2015.

Over Kredit di Bawah Tangan Bisa Terjerat Hukum, Kok Bisa?

Kemandulan itu terbuktim masih banyaknya kasus korupsi kakap yang sepertinya dibiarkan oleh Kejagung. "Jadi, banyak faktor mengapa saya nilai kinerjanya merosot, mulai tidak transparansinya dalam keterbukaan informasi publik penanganan kasus, internal kepemimpinan yang tidak berkualitas, gagal mewujudkan program nawacita Jokowi," katanya.

Dia juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih ratusan, atau bahkan ribuan kasus korupsi kakap yang mandeg ditangani Kejagung. "Dimulai dari audit evaluasi kinerja Satgasus P3PTK yang masih di bawah standar, lalu KPK bisa ambil alih kasus korupsi kakap yang mandeg. Yang saya herankan adalah, jaksa di Satgasus itu kan diklaim jaksa terbaik dan ada yang lulusan KPK, tetapi kok kinerjanya tidak produktif seperti waktu di KPK," tuturnya.

Kinerja jaksa di bidang Pidsus juga tak lepas dari proses rekrutmen dan pengembangan karir yang gagal dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin).

"Nah Presiden Jokowi, setidaknya harus melakukan revolusi mental secara besar-besaran di Kejagung jika tak ingin program nawacita pemberantasan korupsinya mandeg ditengah jalan. Audit kinerja Jambin, Jampidsus, dan Jaksa Agung. Kalau perlu Eselon I Kejagung diaudit dan dievaluasi kinerjanya," katanya.

Di samping itu, kata Ray, dia mempertanyakan rencana strategis Kejaksaan 2015-2019 dimana di Renstra Kejaksaan untuk 2015-2019, tidak ada target untuk melakukan upaya penyelesaian tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Ini Cara KY dan MA Pererat Hubungan

"Apa masih bisa dikatakan Kejaksaan mendukung pemerintahan Jokowi dalam memperbaiki perekonomian Indonesia. Target pengembalian tunggakan PNBP dan aset hasil korupsi saja tidak jelas," katanya.

Untuk diketahui, tunggakan PNBP uang pengganti kerugian negara Kejaksaan RI sebesar Rp13 Triliun, di mana nilai tersebut belum termasuk tunggakan penyelesaian barang rampasan dan sita eksekusi yang mencapai Rp168 triliun.

Sementara itu, menurut pakar hukum pidana Universitas Andalas, Elwi Danil mendesak Presiden Jokowi melakukan evaluasi besar-besaran di tubuh Korps Adhyaksa.

"Harus ada pembenahan di Kejaksaan. Jika Kejaksaan sesuai prosedur atau pun standar operasional dalam hal penetapan tersangka, penggeledahan atau pun penyidikan pastinya hakim tidak akan mengabulkan gugatan praperadilan," kata Elwi.

Di samping itu, dia berharap, penyidik kejaksaan dalam menangani asus korupsi harus mengedepankan aspek profesionalitas dan ketelitian dalam mengungkap dan memberantas korupsi. "Saya tidak bisa mengatakan kualitas jaksa secara generalisir, namun melihat kerap kalahnya di praperadilan, setidaknya evaluasi dan audit kinerja Pidsus dan SDM Kejaksaan perlu dilakukan. Tentunya, agar kejaksaan mampu memenuhi harapan publik selama ini," katanya.

Senada dengan Elwi, anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Nelson Simamora turut mempertanyakan kinerja Jampidsus dan Jaksa Agung RI. "Keseriusan dan kemampuan Kejaksaan patut dipertanyakan dalam hal pemberantasan korupsi," kata Nelson.

Hal tersebut disampaikannya, mengingat tidak transparansinya kejaksaan dalam mengeluarkan SP3 kasus korupsi. "Kalau berani memulai penyidikan, menetapkan tersangka, dan upaya paksa lainnya seharusnya SP3 tidak terjadi. Dan, informasi SP3 pun disembunyikan," tambahnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya