Kisah Bung Karno Dipecat Jadi Guru

Soekarno berdoa.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id
Pejabat Hingga Artis Hadiri Ulang Tahun Guruh Soekarnoputra
- Presiden pertama Indonesia, Soekarno, rupanya pernah bekerja serabutan untuk menafkahi keluarganya.

Kisah Bung Karno Kelabui Jepang Lewat Pidato

Ketika itu, saat Bung Karno lepas dari jenjang perguruan tinggi tahun 1926. Saat itu, ia berhak menyandang titel insinyur.
Ini Alasan Bung Karno Pilih Ali Sadikin


Namun, biro arsitek pertama yang ia dirikan bersama Ir. Anwari, terbilang tidak langgeng. Kurang lebih sama nasibnya dengan biro arsitek kedua di kemudian hari, yang ia dirikan bersama Ir. Rooseno.
 
Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan bahwa demi menafkahi keluarga, Bung Karno mengerjakan beberapa pekerjaan untuk kabupaten-kabupaten serta bangunan rumah-rumah pejabat pemerintah.
Bukan hanya itu, Soekarno bahkan ditawari jabatan menarik di Departemen Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda.
 

Saat datang tawaran itulah ia tersentak sadar, bahwa ia tak bisa terus menekuni pekerjaan tadi. Karena pada dasarnya ia hidup untuk sebuah prinsip non-koperasi.


Persis seperti alasan yang ia ungkapkan kepada profesornya di THS, sesaat setelah lulus, yang menyarankannya agar bekerja membantu pemerintah Hindia Belanda.

 

Saat itu, Soekarno muda mengatakan kepada profesornya, “Profesor, saya menolak bekerja sama, supaya saya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja pada pemerintah, secara diam-diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanya,”  kata dia.

 

Soekarno akhirnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kiriman orangtuanya praktis sudah dihentikan, segera setelah ia lulus kuliah.


Tiba pada suatu saat, ia mendengar adanya lowongan mengajar di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi alias Douwes Deker di kota Bandung. Mereka mencari guru untuk dua mata pelajaran, Sejarah dan Ilmu Pasti.

 

“Huh…,” gerutu Bung Karno. “Dua mata pelajaran yang paling tidak aku kuasai,” gumamnya dalam hati. Akan tetapi, manakala perwakilan sekolah bertanya, “Insinyur Soekarno, tuan adalah insinyur berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti. Bukankah begitu?” Spontan Bung Karno menjawab “pe-de”, “Ohh… ya tuan! Ya… betul, aku menguasainya.”

 

Termasuk saat ditanya, “Baiklah. Tuan dapat mengajar ilmu pasti?”, Bung Karno menyambar, “Mengapa tidak! Saya menguasai betul ilmu pasti. Ini mata pelajaran yang saya senangi,” katanya benar-benar mantap dalam berbohong.

 

Ringkas cerita, Bung Karno diterima mengajar. Mata pelajaran sejarah, yang semula ia bayangkan mudah, ternyata begitu susah. Kelas yang dihadapi Bung Karno berisi 30 murid, satu di antaranya adalah Anwar Cokroaminoto, putra H.O.S. Cokroaminoto, gurunya di Surabaya dulu.

 

Kemudian, Bung Karno memainkan perannya sebagai guru dengan penuh improvisasi. Mulailah ia mengajar sejarah dengan gayanya sendiri. Gaya seorang pembicara. Gaya orator!

 

Sebagai guru sejarah, Soekarno tak hirau soal tanggal dan tahun. Sebagai guru sejarah, Soekarno tidak mau memusingkan kepala murid-muridnya dengan persoalan tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo. Pendek kata, cara mengajar sejarah Bung Karno benar-benar beda dari yang ada.

 

Ia, laksana sang aktor berakting di panggung tonil. Ia lantangkan hakikat kebenaran. Ia gemakan mengapa terjadi ini, dan mengapa pula terjadi itu. Manakala ia berkisah sejarah Sun Yat Sen, “Pak Guru” Soekarno benar-benar berteriak menggelegar, sesekali tangannya diayun dan digebrakkannya di atas meja. Murid mana tidak terbelalak mendapatkan seorang guru seperti itu?

 

Sementara, sudah menjadi aturan Departemen Pengajaran Hindia Belanda, untuk mengirim para penilik sekolah pada waktu-waktu tertentu. Hingga tiba saatnya, sekolah Yayasan Ksatrian dikunjungi penilik sekolah.


Dalam satu kesempatan, sang penilik itu masuk ke kelas Soekarno. Ia duduk di bangku paling belakang, mengamati, mencermati, dan mengevaluasi cara Soekarno mengajar.

 

Kebetulan, hari itu Soekarno membawakan materi “Imperialisme”. Sebuah pokok soal yang begitu dikuasainya. Dan begitulah tabiat Soekarno jika sudah berbicara, ia akan berbicara tanpa hirau dampak dan akibat. Ia terus dan terus mencerca sistem imperialisme dengan sangat bersemangat, sambil melompat, sesekali menggebrak, dan tak jarang berteriak.

 

Atas “cara mengajar” yang unik itu, sang penilik sekolah berkebangsaan Belanda itu terperangah. Ia menjadi lebih tak bisa berkata-kata demi mendengar materi yang diajarkannya.

 

Bisakah Anda bayangkan, seorang guru pribumi, di hadapan penilik sekolah berkebangsaan Belanda, berteriak-teriak tentang imperialisme, dan ditutup dengan kalimat, “Negeri Belanda adalah Kolonialis yang terkutuk!”

 

Geram menahan amarah, sang penilik harus menguasai diri hingga Soekarno selesai memberi pelajaran. Kemudian, ketika selesai mengajar, sang penilik sekolah pun mengayun langkah, dengan wajah merah, menghampiri “pak guru” dan berkata marah,

“Raden Soekarno, tuan bukan guru… tuan seorang pembicara!”


Begitulah akhir  karier Bung Karno yang singkat sebagai guru.

(one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya