Perikemanusiaan

VIVAnews - Kedekatan, seringkali membuat kita bias. Entah itu kedekatan hubungan keluarga, hubungan persahabatan, atau dengan pasangan. Dan itu sah-sah saja.

“Sudah makan siang? Sudah ke dokter? Selamat beristirahat ya..” Teman saya mengucapkan itu berkali-kali pada temannya yang sedang tak masuk kerja karena flu. Sapaan yang kadang klise, sering kita dengar dari seorang kepada seseorang yang lain yang dianggap dekat. Menanyakan hal-hal kecil. Mengkhawatirkan masalah-masalah sepele. 

Ke tataran yang lebih tinggi, bentuk kedekatan sudah beda lagi. Jika menyangkut hubungan anak buah dan pimpinan, atasan dan bawahan, rakyat dan pejabat, biasanya, pihak yang di bawahlah yang selalu memberi perhatian pada yang di atas, yang memiliki posisi dan nilai lebih.. 

Kita sering mendapati betapa orang-orang sibuk memberi perhatian kepada seseorang. Mereka bahkan mengantri, kadang saling sikut, demi perhatiannya mendapat “perhatian” juga. Dan yang terpenting, masing-masing ingin diperhitungkan.

Hubungan dekat. Terkadang membuat kita terkadang jadi tak rasional. Apalagi kedekatan itu dibangun dengan motif berinvestasi. Memberi kecil berharap besar, memberi sekian ribu berharap sekian dollar, atau demi mempertahankan kemapanan. Dan kita hanya ingin dekat atau mendekatkan diri dengan orang-orang yang berpangkat, berkedudukan, berpeluang memberikan keuntaungan timbal balik.

Sementara di sekeliling kita, bertebaran manusia yang tak seberuntung kita. Mereka menempati wilayah terpinggir yang kita enggan menjejakkan kaki ke sana. Kadang juga berada di antara sela-sela derap kaki dan tak jauh dari derit ban kendaraan kita. Di pinggir-pinggir jalan, di jembatan-jembatan, mereka pasrah dalam berbagai keadaan, berbagai kemungkinan yang tak selalu ramah. 

Saat kita ingin segera enyah dari terik matahari atau guyuran hujan, mereka justru memanfaatkannya sebagai momen menaruh harap, yang barangkali ada berkah terselubung berupa belas kasih dari nurani kita. Meski tak selalu begitu. 

Namun entah siapa biang keladinya, kita seolah sepakat menuding mereka memang kerjanya mendramatisir keadaan. Hingga tak jarang kita sering sinis. Teman saya malah mengatakan mereka penipu. 

Mungkin kadang ada benarnya. Mereka menipu. Sikap yang sering juga kita lakukan untuk berbagai alasan. Alasan tak mau menyakiti pasangan, alasan melindungi klien dan sebagainya. Dan parahnya, kadar penipuan besar-besaran justru marak dilakukan oleh para pejabat yang mengorupsi uang rakyat. Menipu sebagai profesi. Penipuan melalui institusi.

Bedanya dengan gelandangan, merekka menipu untuk urusan perut. dan jika di antara kita yang pernah tertipu, paling banter hanya kehilangaan receh dari kocek kita. uang tak seberapa, yang saya tak yakin bisa dibelanjakan untuk makan di restoran atau minum kopi di café yang harga secangkir bisa 30 ribu rupiah. 

Efeknya penipuan pengemsi itu tak sedahsyat penipuan para koruptor yang sering merusak sistem peradilan di pemerintahan kita, yang biasanya, satu penipu akan menciptakan penipu-penipu lain demi saling melindungi dan berbagi keuntaungan.. 

Tapi tetap saja kita apatis, seperti halnya kita apatis terhadap para koruoptor yang jelas-jelas melakuan kecurangan atas milik kita. Ia berbentuk kecurangan di pengadilan, menjungkirbalikkan fakta, hingga benar dan salah tak lagi bisa dibedakan. Dan jangan-jangan penyebab gelandangan itu adalah bagian dari kejahatan para penguasa yang melenyapkan perkampungan, merusak lahan, merobohkan rumah dan membakarnya. 

Tapi entah kenapa kita terlanjur terbiasa bersikap membiarkan ketidakadilan itu terjadi. Kita terbiasa berkompromi dengan perusuh besar dan menghakimi orang kecil. Terbiasa hanya mau mengasihi orng-orang terdekat dan menghormati pada para pejabat.

Hingga terkadang, perhatian kita terlalu berlebihan untuk hal-hal yang sesungguhnya tak diperlukan. Bawahan pada heboh saat atasanya mules, meski ia sudah dijaga oleh para dokter pilihan yang merawatnya. Karena mereka, orang-orang yang berpangkat, lebih berpeluang selalu selamat dengan berbagai fasilitas dan harta yang berlimpah, yang bukan hanya bisa membeli dokter tapi juga nyawa. Seperti kabar yang saya baca dari Majalah Tempo edisi 1 Maret 2009 bahwa, wakil prsidan kita, hanya untuk operasi ringan mencungkil kutil saja, mesti dilakukan di rumah sakit ternama di Mayo seharga Rp 220.000.000.

Sementara, di kiri kanan tetangga kita, di gang-gang sempit pemukiman kumuh, ibu-ibu sesak nafas menghitung recehan untuk menggenapi harga seliter beras kualitas murah. Mereka terpaksa mengangkat nasi yang masih setengah matang karena kehabisan minyak tanah dan tak mampu membeli gas.

Pernahkan terpikir, bahwa di bak sampah yang kita enggan menongoknya itu, telah menjadi ajang persaingan ketat yang tak jarang berujung pada pertarungan sengit? 

Hanya untuk mendapatkan kaleng atau kemasan hand body bekas yang mungkin terselip bersama lembabnya kotoran itupun tak selalu mudah. Dan yang kalah klamprahan di jalanan. 

Mereka memang bukan siapa-siapa kita. Meski kehadirannya tak asing buat kita. Mereka, begitu dekat tapi sekaligus juga sangat jauh. Kasta, telah membuat jarak pemisah antarmanusia hingga bermil-mil jauhnya. Membuat kita tak lagi mengenalnya, seolah satu sama lain hidup di planet yang berbeda. 

Jika demikian, di mana sesungguhnya letak perikemanusiaan itu?

Jakarta, 5 Maret 2009, pukul 12.00

Risma dan Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi, Budi Arie: Jangan Didramatisir
Menteri Pariwisata, Sandiaga Salahudin Uno

Labuan Bajo Siap Sambut Wisatawan! Temukan Peluang Baru di Webinar Outlook Kepariwisataan NTT

Pariwisata jadi industri yang memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi secara cepat dengan berbagai aspek yaitu kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024